TEMPO.CO, Jakarta – Lapangan Tenis Syaiful Anwar di Komando Resor Militer 132/Tadulako Palu, Selawesi Tengah ibarat rumah kedua bagi para relawan gempa Palu. Selama mengabdi sebagai petugas kemanusiaan, segala aktivitas kelompok nirlaba ini terpusat di sana.
“Seperti di gunung, ini rumah kami,” kata Koordinator Lapangan Pusat Koordinator Daerah Mapala Sulawesi Selatan Ikbal Arianto kepada Tempo di lokasi, Kamis malam, 11 Oktober 2018. Mereka bernaung di sebuah tenda yang muat untuk 35 orang.
Baca: Cerita Sopir Eskavator Saat Evakuasi Jenazah Korban Gempa Palu
Lapangan itu ramai kalau malam. Selepas bekerja dari pagi hingga sore, apa yang dilakukan relawan ini saat malam hari?
Sebanyak 32 orang relawan komunitas Mapala biasanya berkumpul di depan tenda untuk mengobrol saat petang tiba. Lantunan petikan gitar mengiringi obrolan mereka. Tak pernah absen, menurut Ikbal, lagu-lagu Efek Rumah Kaca adalah yang utama didendangkan.
“Kelesuan ini jangan lekas pergi....Aku menyelami sampai lelah hati.” Lamat-lamat, lagu Melankolia dimainkan seorang pemain gitar. Iramanya berupa petikan dengan not-not yang persis aslinya dan tidak dikembangkan. Para pecinta alam itu pun menyanyi lirih mengikuti nada-nada gitar. Lagu-lagu lain dalam album Kamar Gelap dan Sinestesia gubahan Cholil Mahmud kemudian dimainkan menyusul.
Baca: Dua Pekan Bertugas di Palu, Begini Kondisi Para Relawan
Lagu Efek Rumah Kaca, menurut Ikbal, adalah hiburan bagi mereka. Lagu ini mencairkan suasana dan menyeragamkan selera. “Kami biasanya main gitar sambil minum kopi dan menyiapkan kegiatan untuk besok pagi,” kata dia. Tim Ikbal bertugas membantu petugas evakuasi untuk mencari korban hilang dan tertimpa reruntuhan di sejumlah titik terdampak gempa serta tsunami di Palu.
Mereka juga diterjunkan untuk menangani pemakaman jenazah di tempat-tempat pemakaman umum. Dua di antara puluhan anggota Mapala itu adalah perempuan. Mereka bertugas sebagai tim medis. Keduanya bekerja sama dengan salah satu lembaga swadaya sosial khusus penanganan kesehatan.
Pembagian tugas dan koordinasi untuk esok hari selalu dilakukan malam sebelumnya. Pada kesempatan yang sama, mereka akan mengevaluasi kegiatan yang sudah mereka lalui seharian. Para anggota Mapala juga akan menceritakan pengalaman menarik yang ditemui di lapangan saat malam hari. Misalnya soal penemuan mayat. “Ceritanya macam-macam. Ada yang menemukan mayat hanya berupa potongan tubuh,” kata Ikbal.
Baca: TNI Bantah Ada Penolakan Relawan Asing untuk Korban Gempa Palu
Para anggota Mapala yang berasal dari kota-kota seluruh Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, Bogor, dan Lombok ini bukan yang pertama kalinya menangani bencana. Saat gempa Lombok Agustus lalu, mereka juga terjun ke lokasi untuk membantu evakuasi korban.
Para relawan pun bergerak atas komando dari tim Basarnas atau TNI. Biasanya, saat malam, petugas-petugas itu akan memberi arahan relawan untuk kegiatan yang dilakukan esok hari. “Setelah kelar koordinasi ya kami sharing-sharing lagi. Biasalah, kayak pas kemah di gunung,” kata Ikbal.
Hingga dini hari, senda gurau para relawan ini belum surut. Celetukan satu sama lain terdengar renyah sampai gerimis turun. Suara hujan menelan gurauan mereka. Namun, lagu Efek Rumah Kaca lamat-lamat masih terdengar. “Kemanusiaan itu seperti terang pagi, letakkan harapan, menepis kabut gelap.” Seorang pemain gitar memetik senar memainkan lagu berjudul Seperti Rahim Ibu. Dalam hujan deras, suara petikan gitar itu hilang.
Baca: JK Akan Tinjau Penanganan Bencana Gempa Palu bersama Sekjen PBB