Pengadilan HAM atau Jalur Non Yudisial?
Enam tahun berlalu. Sejak 2012 hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari laporan tersebut. Komnas HAM mengaku sudah berkali-kali mendatangi Jaksa Agung untuk mempertanyakan bagaimana kelanjutan kasus ini. Choirul mengatakan, dalam pertemuan terakhir pada Juni 2018, Komnas HAM kembali mendesak Presiden Joko Widodo, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly secara langsung untuk melanjutkan penyelesaian perkara ini.
Baca: Komunisme dan PKI: Yang Telah Mati, yang Terus Dipolitisasi
“Kami clear sampaikan pekerjaan kami. Waktu itu, Presiden bilang ke Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti kasus HAM,” kata Choirul. Selang beberapa hari, Jaksa Agung Prasetyo menyatakan laporan tersebut tak cukup untuk dibawa ke ranah hukum.
Choirul mengaku tersinggung. “Jaksa Agung bilang kurang bukti, kami tersinggung. Korban saja yang kami periksa banyak, minimal 50an orang. Kalau peristiwa ini dianggap imajinasi ya kami lihat itu statement politik,” ujarnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo enggan membahas kelanjutan penyidikan kasus ini. “Saya sudah berulang kali menjelaskan. Saya capek ya. Itu kan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar dia di kantornya, Jumat, 28 September lalu. Bahkan, Prasetyo hanya meminta masyarakat menunggu kasus itu naik ke tahap penyidikan.
Di lain pihak, pemerintah berupaya menempuh jalur nonyudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Pada Januari 2017, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan pemerintah akan membentuk Dewan Kerukunan Nasional atau DKN untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. “Karena kita mengadopsi undang-undang dari Eropa maka kalau ada masalah, kasus yang ada di masyarakat maka kita larikan ke proses peradilan, proses projustisia," ujarnya.
Menurut Wiranto, DKN dirancang untuk mengedepankan prinsip musyawarah sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga adat di Indonesia ketika menyelesaikan masalah. "Yang berlaku sekarang ini yang masuk dulu adalah Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki peran menyelidiki permasalahan, menyelidiki kasus untuk dibawa ke peradilan," kata dia.
Wacana ini ditolak berbagai organisasi HAM di Indonesia yang menilai DKN akan mengabaikan mekanisme yudisial, termasuk Komnas HAM. Menurut Choirul, wacana pembentukan DKN itu tidak sesuai dengan gagasan dan amanat reformasi. Bahkan, Komisioner Komnas HAM Amiruddin juga mempertanyakan apa dasar hukum Wiranto membentuk DKN. “Itu yang saya mau tanya, dasar hukumnya apa? Kalau tidak ada dasar hukumnya, bagaimana bisa bekerja?” ucap Amiruddin.
Baca: Kisah Jess Melvin Menelusuri Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965