Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jalan Panjang Mencari Keadilan Korban HAM Pasca G30S 1965

image-gnews
Korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (4/6). ANTARA/Fanny Octavianus
Korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (4/6). ANTARA/Fanny Octavianus
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Gerakan 30 September atau G30S 1965 membawa Bedjo Untung pada kehidupannya yang kelam. Saat itu ia masih berusia 17 tahun. Bedjo mengaku belum tahu apa-apa mengenai peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira TNI itu.

Pemerintah menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta dan membunuh ketujuh tentara dengan brutal. TNI kemudian memerintahkan PKI ditumpas hingga ke akar-akarnya.

Bedjo menjadi salah satu sasaran yang harus ditumpas. Dia dianggap bagian dari PKI lantaran aktif di Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), komunitas yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Ayahnya sendiri ditangkap dan dibawa ke Nusa Kambangan, sebelum dibuang ke Pulau Buru.

Baca: Soeharto, Militer, dan Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965

Namun saat itu Bedjo berhasil lolos. Dia melarikan diri dan bersembunyi di berbagai tempat di sekitar Jakarta. Sayangnya, lima tahun menjadi buronan, Bedjo akhirnya ditahan. Pada 1970, dia resmi menjadi tahanan politik.

"Selama ditahan, kami disiksa," kata Bedjo kepada Tempo, Kamis, 20 September 2018. Saat proses interogasi, Bedjo mengaku disetrum. Dua jari tangannya dililit kawat yang dihubungkan dengan dinamo. Tahanan lain mengalami sensasi lain, mulai dari sundutan rokok hingga dipukul dengan ekor ikan.

Meski tak ada bukti keterlibatan dirinya dengan PKI, Bedjo tak dilepaskan. Dia ditahan selama 9 tahun. Selama itu, dia juga dipaksa bekerja tanpa diberi makan yang layak. Lauknya tak pernah banyak. Nasi yang jadi penganan utama seringkali penuh batu dan pasir.

Baca: Kisah Jess Melvin Menelusuri Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965

Bedjo mengingat pernah bekerja di sawah. Dalam kondisi lelah dan lapar, dia mencari lubang-lubang tikus. Hewan itu akan dikuliti dan dibakar untuk disantap. "Kalau ketemu cindil (anak tikus) biasanya langsung dimakan saja," kata dia.

Penderitaan sebagai tahanan akhirnya usai pada 1979. Bedjo dinyatakan bebas. Saat itu muncul desakan dari pemerintah Amerika dan konsorsium Intergovermental Group on Indonesia (IGGI) -yang dibentuk Belanda- kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan ratusan ribu tahanan politik. Mereka mengancam tak akan lagi memberi bantuan jika tahanan tak dilepas.

Namun kehidupannya setelah itu tak jauh berbeda seperti ketika masih ditahan. Bedjo dilabeli sebagai eks tahanan politik. Dia harus melapor dan ikut apel setiap minggu. Jika ingin bepergian ke luar kota, maka Bedjo harus melapor kepada TNI. Sampai sekitar 2005, Kartu Tanda Penduduk miliknya masih berkode "ET", tanda eks tahanan politik.

Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya. ANTARA/Fanny Octavianus

Menurut Bedjo, label itu masih melekat hingga sekarang. Ketua Yayasan Penelitian Korban dan Pembunuhan 1965/1966 itu tak merasa sepenuhnya bebas. Pergerakannya dibatasi. "Misalnya kami (YPKP 65) mau ada pertemuan, kami diserbu dan disebut mau membangkitkan paham komunis," ujarnya.

Bedjo mengatakan, represi yang dirasakan korban selama 53 tahun ini harus dihentikan. Ia menuntut keadilan setelah ditahan tanpa proses hukum dan dibuktikan bersalah, dipaksa bekerja, hingga disiksa. "Saya merasa tidak bersalah," kata dia.

Pria berusia 65 tahun itu meminta Presiden Joko Widodo meminta pemerintah meminta maaf kepada para korban pasca G30S 1965.

Baca: Komunisme dan PKI: Yang Telah Mati, yang Terus Dipolitisasi

"Negara harus secara berani dan jujur mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, kejahatan kemanusiaan, dan pembunuhan massal yang jumlahnya 500 ribu hingga 3 juta jiwa," kata dia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah juga dituntut menggelar pengadilan ad-hoc untuk mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku pelanggaran HAM. Pengadilan penting untuk mencegah pengulangan di masa depan. Setelah proses tersebut, kata Bedjo, barulah rekonsiliasi dilakukan dengan memastikan pemulihan hak dan kompensasi untuk korban.

Baca: EKSKLUSIF G30S 1965: Pengakuan Penyergap Ketua CC PKI Aidit

Bedjo mengatakan Jokowi dan JK yang berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat saat kampanye dinilai belum melakukan tindakan konkret. Jika Jokowi ingin bersungguh-sungguh, Bedjo mengatakan, dia seharusnya menerbitkan keputusan presiden tentang rehabilitasi umum sebagai payung hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Menurut Bedjo pemerintahan saat ini justru lebih condong menyelesaikan kasus ini melalui jalur non yudisial.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto menyatakan kebijakannya tak berubah sejak dua tahun lalu. "Dulu sudah diumumkan di Lubang Buaya. Pakai saja rekaman itu," katanya saat diminta keterangan tentang upaya penyelesaian kasus 1965-1966 pada Kamis, 27 September 2018 di kantornya.

Pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Ahad, 1 Oktober 2017, Wiranto mengatakan penyelesaian kasus 1965-1966 secara yuridis tidak mungkin dilakukan. Mekanisme itu akan memicu klaim salah-benar dari sejumlah pihak. "Presiden mengatakan tadi, tidak mengulang sejarah kelam itu sebagai pembelajaran masa kini untuk menatap masa depan. Maka penyelesaian secara yuridis tidak mungkin," kata dia.

 Ketua Steering Committee IPT Dolorosa Sinaga menyerahkan salinan lengkap putusan final International People Tribunal (IPT) 1965, di kantor Komnas HAM, Jakarta, 25 Juli 2016. Keputusan itu menyatakan, Indonesia bersalah atas sembilan kejahatan kemanusiaan termasuk genosida yang terjadi 1965-1966. Karenanya, Pemerintah direkomendasikan meminta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban.TEMPO/Imam Sukamto

Pada acara yang sama di 2016, Wiranto menyatakan negara berada dalam keadaan bahaya selama peristiswa pasca G30S 1965 jika dilihat dari pendekatan yuridis. Artinya, segala tindakan yang dilakukan dianggap sebagai upaya penyelamatan demi keamanan nasional. "Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adigium 'Abnormaal recht voor abnormaale tijden', tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," ujarnya.

Jalur nonyudisial juga dipilih karena Kejaksaan Agung kesulitan memenuhi alat bukti yang cukup. Laporan Komnas HAM dianggap tak memenuhi standar pembuktian.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Jaksa Agung seharusnya membentuk tim penyidik untuk menangani laporan lembaganya terkait kasus 1965. Penyidik akan bertugas mencari data tambahan jika laporan tersebut dirasa tak memenuhi alat bukti. "Jadi jika tak mungkin dilanjutkan, itu yang menyatakan penyidik," kata dia saat ditemui di kantornya, Jumat, 28 September 2018.

Terkait upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini melalui jalur non yudisial, Taufan mengatakan lembaganya akan mengapresiasi. Dengan syarat, pemerintah harus melandaskan tindakannya berdasarkan undang-undang. Pemerintah harus mengungkapkan kebenaran dan mengutamakan kepentingan korban.

Namun Taufan tegas menyatakan Komnas HAM tak akan terlibat dalam penyelesaian kasus lewat jalur tersebut. "Kami tetap mengacu dengan UU Nomor 26 (tentang Pengadilan HAM) yaitu yudisial," ujarnya.

Peneliti International People Tribunal 65 (IPT '65) Sri Lestari Wahyuningroem berpendapat pemerintah bisa menggunakan rujukan lain untuk membuktikan pelanggaran HAM berat dalam kasus 1965. Salah satunya temuan yang diungkap dalam buku peneliti dari Sydney Southeast Asia Centre, Jess Melvin. Ia menemukan dokumen internal militer Aceh tentang peristiwa 1965 yang membuktikan militer terlibat dalam penumpasan rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September. Temuan itu dianalisa dalam buku berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder".

Sri Lestari mengatakan penelitian Jess Melvin sangat bisa dibuktikan. "Hanya saja tentu potensi penghilangan bukti-bukti juga membesar," ujarnya. Menurut dia, bukan tidak mungkin akan ada pemusnahan arsip-arsip seputar peristiwa pasca G30S 1965 dan sesudahnya yang bisa mengungkap keterlibatan militer. Dia menuturkan, jika pemerintah dan TNI tak merasa bersalah, arsip-arsip lama seharusnya dibuka kepada publik.

Di sisi lain, menurut Sri Lestari, pemerintah sudah mendapat banyak laporan terkait peristiwa tersebut. Dia tetap berharap pemerintah mau menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM, laporan IPT '65, serta kajian masyarakat sipil dalam sebuah lembaga resmi untuk pengungkapan kebenaran, pengakuan sejarah, dan keadilan. Lembaga tersebut juga harus memikirkan pemulihan, reparasi mendesak, dan rehabilitasi nama baik bagi korban dan keluarganya.

Baca: Peristiwa G30S 1965 Adalah...

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Temuan Tulang Manusia di Reruntuhan Rumoh Geudong Aceh, Pemerintah Diminta Hentikan Proyek

14 jam lalu

Presiden Joko Widodo didampingi Pj Gubenur Aceh Achmad Marzuki (ketiga kanan) saat melihat denah pembangunan living part Rumoh Geudong di sela peluncuran penyelesaian pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa, 27 Juni 2023. Presiden Jokowi resmi meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non yudisial sebanyak 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dan dimulai dari Aceh sebagai titik kick off program tersebut. ANTARA FOTO/Khalis Surry
Temuan Tulang Manusia di Reruntuhan Rumoh Geudong Aceh, Pemerintah Diminta Hentikan Proyek

Pekerja proyek pembangunan Memorial Living Park Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, Aceh menemukan tulang-belulang manusia diduga korban pelanggaran HAM berat. Lokasi tersebut adalah salah satu situs tempat terjadinya penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang dituduh anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semasa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).


Rangkaian Momen Sebelum Soeharto Naik Menjadi Presiden Gantikan Sukarno 56 Tahun Lalu

1 hari lalu

Letjen Soeharto (kiri), Soekarno, Sultang Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik pada rapat Kabinet Ampera1, 25 Juli 1966. Dok. Rusdi Husein
Rangkaian Momen Sebelum Soeharto Naik Menjadi Presiden Gantikan Sukarno 56 Tahun Lalu

Naiknya Soeharto sebagai presiden menggantikan Sukarno berawal dari kemelut politik yang rumit pasca peristiwa G30S


ELSAM Sebut Penetapan Hasil Pemilu 2024 Jadi Gong Berakhirnya Upaya Penelusuran Kejahatan HAM Masa Lalu

4 hari lalu

ELSAM Sebut Penetapan Hasil Pemilu 2024 Jadi Gong Berakhirnya Upaya Penelusuran Kejahatan HAM Masa Lalu

ELSAM menilai kemenangan Prabowo di Pemilu 2024 bisa menjadi gong yang mengakhiri agenda-agenda strategis untuk mengungkapkan kebenaran


Indonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB

12 hari lalu

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi berbicara dalam Sidang ke-55 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada Senin 26 Februari 2024. ANTARA/HO-akun X @Menlu_RI
Indonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB

Isu tersebut dinggap penting diangkat di sidang Dewan HAM PBB untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama di dunia.


Kini Siap Kerja Sama, Mengapa AS Dulu Mencekal Prabowo?

21 hari lalu

Presiden Joko Widodo saat memberikan kenaikan pangkat secara istimewa  kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disela-sela Rapat Pimpinan TNI-Polri Tahun 2024 di Markas Besar (Mabes) TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu 28 Februari 2024. Menhan RI Prabowo Subianto merupakan seorang purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir jenderal bintang tiga atau letnan jenderal. Prabowo keluar dari kedinasan setelah diberhentikan dengan hormat sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor: 62/ABRI/1998 yang diteken oleh Presiden Ke-3 RI B. J. Habibie pada 20 November 1998. TEMPO/Subekti.
Kini Siap Kerja Sama, Mengapa AS Dulu Mencekal Prabowo?

Prabowo Subianto punya hubungan kurang harmonis dengan Amerika Serikat (AS). Dia pernah masuk dalam daftar hitam selama 20 tahun.


Alasan Prabowo Diberhentikan dari Militer, Kini Jokowi Justru Berikan Gelar Jenderal TNI Kehormatan

28 hari lalu

Presiden RI Joko Widodo bersama Menhan Prabowo Subianto saat menghadiri Rapat Pimpinan TNI-Polri Tahun 2024 di Markas Besar (Mabes) TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu 28 Februari 2024. TEMPO/Subekti.
Alasan Prabowo Diberhentikan dari Militer, Kini Jokowi Justru Berikan Gelar Jenderal TNI Kehormatan

Presiden Jokowi memberikan kenaikan pangkat secara istimewa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Dulu pernah diberhentikan dari ABRI (TNI)


Kata YLBHI Soal Prabowo Subianto Terima Gelar Jenderal Kehormatan dari Presiden Jokowi

28 hari lalu

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) menggunakan mobil mengecek alutsista di Mabes TNI, Jakarta, Rabu, 28 Februari 2024.  ANTARA/Bayu Pratama S
Kata YLBHI Soal Prabowo Subianto Terima Gelar Jenderal Kehormatan dari Presiden Jokowi

Isnur mengatakan, kenaikan pangkat bintang empat Prabowo bukan hanya keliru, melainkan juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998.


Jokowi Beri Gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo, Apa Kata Keluarga Korban Penculikan?

28 hari lalu

Presiden Joko Widodo saat memberikan kenaikan pangkat secara istimewa  kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disela-sela Rapat Pimpinan TNI-Polri Tahun 2024 di Markas Besar (Mabes) TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu 28 Februari 2024. Menhan RI Prabowo Subianto merupakan seorang purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir jenderal bintang tiga atau letnan jenderal. Prabowo keluar dari kedinasan setelah diberhentikan dengan hormat sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor: 62/ABRI/1998 yang diteken oleh Presiden Ke-3 RI B. J. Habibie pada 20 November 1998. TEMPO/Subekti.
Jokowi Beri Gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo, Apa Kata Keluarga Korban Penculikan?

Keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa kecewa Presiden Jokowi memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo.


Pro-Kontra Kenaikan Pangkat Istimewa Prabowo Subianto

29 hari lalu

Pakar mempertanyakan tolak ukur Presiden Jokowi memberikan kenaikan pangkat kehormatan kepada Prabowo.
Pro-Kontra Kenaikan Pangkat Istimewa Prabowo Subianto

Kenaikan pangkat istimewa Prabowo Subianto menuai pro-kontra. Apa saja pro dan kontranya?


Prabowo akan Naik Pangkat jadi Jenderal TNI, Ayah Korban Penghilangan Paksa: Kecewa Banget

29 hari lalu

Paian Siahaan orang tua Ucok Munandar saat memberikan keterangan pers dalam
Prabowo akan Naik Pangkat jadi Jenderal TNI, Ayah Korban Penghilangan Paksa: Kecewa Banget

Presiden Jokowi bakal memberikan kenaikan pangkat kehormatan Jenderal TNI kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Rabu, 28 Februari 2024.