TEMPO.CO, Jakarta - Akademisi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyatakan putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap gugatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai caleg, cacat secara formil dan materiil. Menurut dia, putusan itu seharusnya batal demi hukum.
"Putusan MA itu seharusnya batal demi hukum," kata Bayu di PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa, 25 September 2018. Ia menjelaskan pasal-pasal yang bertentangan dengan pelaksanaan putusan MA tersebut.
Baca: Putusan MA Soal Caleg Eks Napi Korupsi Dinilai Melanggar UU MK
Bayu mengatakan cacat formil putusan itu disebabkan oleh sifat sidang. Dia merujuk pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ayat 1 dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Kemudian seperti ditulis dalam ayat 2, putusan pengadilan akan sah apabila diucapkan dalam sidang terbuka. Jika tak memenuhi kedua syarat tersebut, ayat 3 pasal tersebut menyatakan bahwa putusan yang diambil batal demi hukum. Sementara putusan gugatan PKPU ini dilakukan secara tertutup.
Putusan kemudian diumumkan oleh Juru bicara MA Suhadi kepada awak media. Berkas putusan sulit ditemukan beberapa hari setelah putusan.
Baca: Ini 38 Nama Eks Napi Korupsi yang Menjadi Caleg 2019
Cacat formil yang dicatat Bayu tak hanya itu saja. Dia merujuk pada Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) juncto putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017. Kedua beleid itu mengatur pengujian aturan perundang-undangan yang dilakukan MA wajib dihentikan jika UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di MK.
Bayu menuturkan MA seharusnya menunda pengujian PKPU tentang eks narapidana koruptor. Dasar beleid itu yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sedang diuji materi di MK.
Secara materiil, putusan MA dianggap cacat karena hakim tidak mempertimbangkan pembuatan pakta integritas. Hakim menyatakan tak ada aturan soal pakta integritas dalam UU Pemilu. Namun Bayu mengingatkan, pakta tersebut dibuat oleh lembaga negara independen yang memiliki sifat seperti legislatif. "KPU bisa membentu peraturan perundang-undangan sebagai atribusi," ujarnya. Aturan atribusi dapat dibuat jika dirasa perlu dan selama UU belum mengaturnya.
Hakim juga menyatakan pakta integritas membatasi hak politik seseorang. Bayu menilai perjanjian tersebut dibentuk atas kesepakatan peserta pemilu hingga penyelenggara. Dalam kontesk tersebut, kata Bayu, hakim agung wajib mengikuti dan memahami nilai hukum sebelum memutus. "Hakim justru melanggar sikap professional dan kode etik," ujarnya.
Baca: Perludem Usul KPU Tandai Caleg Eks Napi Korupsi di Surat Suara