Lia mengatakan keberadaan RBM tak hanya berdampak untuk anaknya, tetapi juga membuat mereka lebih percaya diri. Ibu rumah tangga ini sebelumnya merasa amat minder akan kondisi anaknya. Apalagi, kakak Abdan, Jajang Sudrajat yang berusia 17 tahun juga mengalami kondisi serupa.
Simak juga: Penyandang Disabilitas Indonesia Pertama di Komite HAM PBB
“Dulu Abdan itu minder, tiap diajak keluar rumah selalu merengek, mama uwih, mama uwih (mama pulang, mama pulang),” kata Lia. Padahal, Abdan ketika itu masih berusia 2 tahun.
Pengalaman baik hasil terapi juga dirasakan anak penderita cerebral palsy, Ridho Akbar, 10 tahun. Ibu Ridho, Susi Indriani mengatakan anaknya kini bisa duduk setelah mengikuti terapi yang disediakan RBM Panglayungan. Padahal sebelumnya, kata dia, anaknya juga rutin diterapi di klinik dan rumah sakit, tetapi tak berdampak.
Bagi Susi, sudah tak terhitung berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk kesembuhan anaknya. Berbagai jalur pengobatan dia tempuh, mulai medis hingga paranormal. “Sudah jual satu rumah,” kata dia. Sejak bergabung dengan RBM, Ridho juga bisa kembali sekolah.
Ketua RBM Panglayungan, Waryono, mengatakan bahwa anak-anak disabilitas di daerahnya sebagian besar berasal dari keluarga tak mampu. Data Save the Children dan Lakpesdam NU pun menunjukkan hal senada. Suami Lia, Dindin Rubaedin, berprofesi sebagai satpam di sebuah kompleks perumahan dengan gaji Rp 800 ribu per bulan yang setengahnya bahkan sudah habis untuk membayar kontrakan.
Karena kondisi ekonomi keluarga penyandang disabilitas itu, Kepala Desa Sukaasih, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya memutuskan menyisihkan dana desa. Kepala Desa Sukaasih Misbah Aristo mengatakan musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) sejak 2017 lalu sepakat mengalokasikan dana desa untuk layanan anak-anak disabilitas. Tahun ini jumlahnya Rp 15 juta.
Kepala Urusan Keuangan Desa Sukaasih, Silvia Veronika mengatakan anggaran itu untuk membantu RBM menyediakan layanan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Menurut dia, layanan itu penting untuk ‘memancing’ para orang tua membawa anak-anaknya sehingga RBM bisa ada pendataan. Sebab, pemerintah di berbagai tingkatan justru tak memiliki data ihwal anak-anak disabilitas ini.
Dana desa tersebut juga dapat menyiasati bantuan dari Save the Children dan Lakpesdam NU yang akan berakhir tahun ini. Community Organizer Kabupaten Tasikmalaya Lakpesdam NU, Ihah Solihah mengatakan, pos biaya terbesar yang diperlukan RBM ialah untuk layanan terapi.
RBM telah bekerja sama dengan sejumlah ikatan terapis, di antaranya Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) dan Ikatan Okupasi Terapis Indonesia (IOTI). Menurut Ihah, asosiasi terapis ini tak menerapkan tarif komersial terhadap RBM. Biaya yang keluar selama ini hanya untuk uang transportasi para terapis yang datang sebulan sekali.
Jerih payah program RBM membuahkan banyak hasil. Gilang Ramadan, seorang tunadaksa, berhasil meraih juara 3 dalam sebuah lomba di bidang Ilmu Pengetahuan Alam di tingkat Jawa Barat. Prestasi itu dia raih saat masih duduk di kelas 3 sekolah dasar.
Baca juga: Pentingnya Pelatihan Tanggap Disabilitas Bagi Pelayanan Pelanggan
Ibunda Gilang, Tuti, tak menyembunyikan rasa bangganya. Prestasi Gilang sekaligus menjadi pelipur sedih bagi ibu tiga anak ini. Sebab, tiga anaknya juga disabilitas. Mereka bertiga mengalami osteogenesis imperfecta. Dengan prestasinya ini, Gilang yang sehari-hari menggunakan kursi roda mengantongi optimisme untuk mengejar cita-citanya. “Ingin jadi insinyur," kata Gilang.