INFO NASIONAL - Pemerintah diharapkan memiliki solusi jangka pendek dan panjang untuk menyikapi pelemahan rupiah, sehingga meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, solusi jangka pendek tidak bisa diandalkan untuk jangka menengah dan panjang mengingat dinamika perekonomian yang terus berubah, terutama tekanan dari eksternal. Pemerintah pun juga tidak bisa hanya bergantung pada solusi jangka panjang karena dampaknya dalam waktu yang singkat tidak terasa.
“Dengan demikian, diperlukan upaya jangka pendek dan jangka menengah yang kompeherensif, simultan, dan saling menunjang satu sama lainnya, bukan yang justru berkontradiksi,” katanya di Jakarta, Kamis, 6 September 2018.
Baca Juga:
Berdasarkan data Bloomberg pada perdagangan hari ini, rupiah dibuka di level Rp 14.875, menguat 0,42 persen dari posisi penutupan perdagangan kemarin, yakni Rp 14.938.
Arif mengatakan, solusi jangka pendek yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menahan dana investor agar mengendap di Tanah Air. Kebijakan ini bisa dilakukan oleh Bank Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya dengan menaikkan suku bunga sehingga investor mau menaruh dananya di Indonesia.
Selain itu, pemerintah bisa menerbitkan peraturan perundangan untuk merevisi UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa, utamanya soal kewajiban menahan devisa hasil ekspor (DHE) di bank domestik dalam periode tertentu. “Aturan lalu lintas devisa kita perlu juga diperbaiki. Karena kita belum ada aturan menahan DHE seperti yang dilakukan Malaysia. Padahal ini perlu sehingga aliran dana tidak cepat keluar,” ucapnya.
Baca Juga:
Untuk solusi jangka panjang, Arif memandang perlunay dilakukan pengembangan foreign direct investment (FDI) yang berorientasi ekspor. Untuk dapat merangsang pengembangan sektor tersebut tentunya harus didukung dengan insentif, sehingga para investor semakin berminat.
Peningkatan investasi di sektor yang berorientasi ekspor, akan menekan defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran Indonesia yang memiliki tren terus menurun belakangan ini. Nilai neraca perdagangan Indonesia Juli 2018 defisit US$ 2,03 miliar, dipicu oleh defisit sektor migas US$ 1,19 miliar dan nonmigas defisit US$ 0,84 miliar.
Sementara itu, berdasarkan data Bank Indonesia, neraca pembayaran Indonesia pada kuartal II/2018 defisit sebesar US$ 4,3 miliar. Dengan perkembangantersebut, posisi cadangan devisa pada kuartal II/2018 tercatat sebesar US$ 119,8 miliar atau setara dengan 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
“Ke depannya pemerintah harus memilah kembali, sektor mana saja yang diutamakan untuk dijadikan sektor utama FDI. Sektor-sektor yang berorientasi ekspor harus diutamakan, sehingga kita bisa mendapatkan keuntungan dari kegiatan investasi tersebut,” kata Arif. (*)