TEMPO.CO, Jakarta - Bekas narapidana teroris Yudi Zulfahri mengatakan paham radikalisme atau terorisme berawal dari intoleransi. Yudi bahkan menyebut bibit-bibit radikalisme justru didapat dari pengajian di masjid-masjid kampus.
Baca juga: Ada Informasi Serangan Teroris, Pembukaan Pusat Australia Batal
“Bibitnya, pondasinya itu dari kampus,” kata Yudi kepada Tempo di kampus Universitas Hasanuddin Makassar, Kamis 6 September 2018.
Yudi mengatakan yang harus dicegah adalah intoleransi. Apalagi kelompok radikal ini tak menghargai perbedaan pendapat karen hanya memahami satu pendapat saja. “Ini cikal bakal radikalisme dan terorisme,” kata alumni STPDN tersebut.
Yudi mengatakan paham radikalisme ini ditularkan lewat mahasiswa atau pemuda karena mereka masih berjiwa kritis. Menurut dia, mahasiswa selalu ingin melakukan perlawanan sehingga mudah diiindroktinasi paham radikal. "Sasaran utama itu pemuda,” kata dia.
Yudi pun berbagi pengalaman, pada 2006 silam ia mengikuti pengajian di masjid kampus setiap pekan. Ia mendengar pengajian itu tak menghargai pendapat orang lain. Jika tak sependapat dengan mereka, akan mudah dicap sesat.
Pada 2010, Yudi kembali ke Aceh untuk belajar lagi lebih dalam tentang agama. “Jadi memang ada pentolan yang diajarkan melawan pemerintah. Disitu saya naik jadi radikal,” tutunya.
Yudi kemudian kembali ke Bandung dan bertemu jaringan Jamaah Ansharut Daulah. "Mungkin ada sekitar 100 orang, tapi itu sudah dianggap kuat untuk melawan pemerintah," katanya.
Baca juga: Densus 88 Tangkap 8 Terduga Teroris di Banten
Setelah itu Yudi bulat keluar dari pegawai negeri sipil untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Bahkan ia juga sempat belajar Bahasa Arab ke salah satu perguruan tinggi di Makassar selama 6 bulan. “Itulah pentingnya pencegahan karena kalau sudah terpengaruh sangat sulit untuk keluar,” katanya.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Hamli mengungkapkan pihaknya sudah mengusulkan agar mengaitkan pelajaran agama dan kebangsaan untuk mencegah paham radikal.
Selain itu belajar agama harus komprehensif, tak boleh sepotong-sepotong. Hamli menyarankan agar para dosen ikut mencari mahasiswanya jika sudah tak pernah masuk belajar selama tiga hari hingga sepekan. "Bisa saja mereka tergabung ke kelompok radikal," ujar dia.