TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah mengatakan kisruh antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai calon legislatif atau caleg bekas narapidana koruptor adalah kesalahan KPU. Fahri menyebut KPU menjadi "lembut norma" yang bertentangan dengan Undang-Undang dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca: Demokrat Desak Bawaslu Batalkan Pencalegan Eks Napi Korupsi
"Kesalahan dimulai dari KPU ketika menjadi lembut norma yang bertentangan dengan undang-undang dan keputusan MK. Sehingga Bawaslu kembali menoleh kepada undang-undang dan keputusan MK, lalu bertentangan dengan PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum)," kata Fahri melalui pesan pendek, Selasa, 4 September 2018.
Bawaslu telah meloloskan 12 bakal caleg eks narapidana kasus korupsi. Beberapa di antaranya M. Nur Hasan, bacaleg Partai Hanura yang akan maju dari Rembang; bacaleg Pare-pare dari Partai Perindo, Ramadan Umasangaji; bacaleg Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Joni Kornelius Tondok, yang akan maju di Tana Toraja.
Keputusan ini bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam aturan ini, KPU melarang bekas narapidana korupsi maju dalam pemilihan legislatif 2019.
PKPU tersebut telah mengatur agar partai politik tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi sebagai bakal caleg. "Kalau masih didaftarkan, kami akan menyatakan statusnya tidak memenuhi syarat," kata Ketua KPU Arief Budiman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 3 September 2018.
Sejak awal, KPU dan Bawaslu memang berbeda pendapat mengenai PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang larangan eks napi koruptor menjadi caleg. Sejumlah pihak juga sempat mengkritik langkah KPU yang mengeluarkan peraturan larangan eks napi koruptor menjadi caleg tersebut.
Simak juga: Caleg Eks Koruptor Lolos, Bawaslu Dinilai Rusak Kualitas Pemilu
Perdebatan itu berujung pada kesepakatan pimpinan empat lembaga negara, yakni Bawaslu, KPU, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Hukum dan HAM, untuk memberi kesempatan kepada semua pihak mendaftar menjadi caleg di semua tingkatan melalui partai politiknya masing-masing. Namun, sambil menunggu verifikasi, caleg bisa melakukan uji materi di Mahkamah Agung.