TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengakui kesulitan mengawasi tindakan para hakimnya di luar pengadilan karena berkembangnya teknologi komunikasi. Hal itu diduga menjadi penyebab masih adanya perilaku hakim culas yang menerima suap.
Baca juga: Komisi Yudisial Usulkan Dua Calon Hakim Agung ke DPR
"Dengan perkembangan teknologi orang bisa berhubungan dengan alat komunikasi yang canggih," kata juru bicara MA, Suhadi di kantornya, Jakarta, Kamis, 30 Agustus 2018.
Suhadi mengatakan itu menyusul operasi tangkap tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Pengadilan Negeri Medan. Setelah operasi itu, KPK menetapkan hakim Adhoc PN Medan Merry Purba, panitera pengganti PN Medan Helpandi, Direktur PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi, dan Hadi Setiawan, orang kepercayaan Tamin sebagai tersangka.
Merry diduga menerima suap sebesar Sin$280 ribu dari Tamin, terdakwa korupsi penjualan tanah negara senilai Rp 132 miliar. Uang itu diduga untuk mempengaruhi putusan majelis hakim yang menangani perkara Tamin.
Suhadi mengatakan saat ini Mahkamah Agung baru mampu mengawasi tindakan hakim di dalam pengadilan dengan adanya pelayanan terpadu satu pintu. Sistem itu, dia klaim mampu meminimalisir kontak antara hakim dan orang yang berperkara. "Kami sudah mampu mencegah adanya kontak antara pejabat pengadilan dengan pencari keadilan," kata dia.
Baca juga: Terima 1.473 Laporan, Komisi Yudisial Sulit Temukan Alat Bukti
Namun, di luar pengadilan, kata dia, pengawasan itu sulit dilakukan. Dia mencontohkan dalam OTT KPK kemarin transaksi antara Merry dengan penyuap diduga dilakukan saat di perjalanan memakai mobil. "Pemberian itu dilakukan di perjalanan, nah ini badan pengawas sulit mengejar," kata dia.
Suhadi mengatakan karena itu pihaknya mendukung upaya penindakan KPK terhadap hakim yang terbukti melakukan korupsi. Di lain sisi, dia mengatakan pihaknya akan tetap mengevaluasi sistem pengawasan internal lembaganya. "Pasti kami evaluasi," kata dia.