INFO NASIONAL-- Biro Humas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bekerja sama dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen menggelar diskusi empat pilar. Kali ini, tema yang dibahas dalam diskusi adalah “Menuju Pemilu 5 Kotak”. Acara erlangsung di media center MPR, DPR, DPD, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27 Agustus 2018.
Dua orang narasumber dihadirkan untuk membahas tema tersebut, yaitu anggota Fraksi Partai Golkar MPR, yang juga Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Zainudin Amali, serta komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.
Sebagai pembicara pertama, Zainudin mengingatkan para penyelenggara pemilu 2019 harus bersikap ekstra hati-hati. Karena, pemilihan umum yang akan berlangsung pada 17 April 2019 adalah pemilu lima kotak pertama yang akan dilalui bangsa Indonesia. Artinya, bangsa Indonesia belum pernah memiliki pengalaman mengelola pemilihan presiden, DPD, DPR, DPRD I, serta DPRD II secara bersamaan.
Sikap kehati-hatian itu, kata Zainudin, sangat penting menghindari kegagalan. Sebab, satu kegagalan dalam pelaksanaan pemilu akan menyebabkan kegagalan-kegagalan lain. Untuk itu, penyelenggara pemilu harus menyiapkan segala sesuatunya dengan cermat dan penuh kehatian-hatian
“Dari dua simulasi yang sudah dilakukan di Bogor dan Tangerang, waktu yang disyaratkan UU, yaitu selama satu hari tidak bisa dipenuhi. Ini patut menjadi perhatian, KPU harus segera menemukan jalan keluar soal tafsir pelaksanaan pemilu yang memiliki batas waktu selama satu hari,” kata Zainudin, menambahkan.
Selain menyoal tentang waktu, KPU masih memiliki pekerjaan rumah tentang peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, baik berbentuk PKPU maupun peraturan Bawaslu. Misalnya, soal putusan MK tentang DPD dan PKPU tentang larangan pencalonan legislatif mantan koruptor.
Pernyataan serupa disampaikan Wahyu. Menurut dia, peluang munculnya perselisihan soal pemilu akan muncul setelah diketahui siapa pemenangnya. Karena itu, sejak dini, KPU meminta kepada Komisi II DPR untuk duduk bersama membahas berbagai persoalan yang mungkin akan menimbulkan persoalan pada kemudian hari.
“Undang-Undang mensyaratkan peserta pemilu yang sah itu adalah mereka yang sudah memiliki e-KTP. Namun, di daerah Papua dan Papua Barat, masih banyak masyarakat yang belum memiliki e-KTP. Jadi, saat ini, di depan mata sudah ada dua persoalan yang harus segera dipecahkan. Pertama, soal waktu bagi pelaksanaan pemilu. Kedua, soal e-KTP,” ujar Wahyu. (*)