TEMPO.CO, Jakarta - Keluhan Meiliana, seorang warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara ihwal suara azan yang terlalu lantang berbuah petaka. Keluhan itu membuat Meiliana terancam dipenjara atas kasus penistaan agama.
Baca juga: PBNU: Katakan Suara Adzan Terlalu Keras Bukan Penistaan Agama
Selasa, 21 Agustus lalu, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan kepada Meiliana. Majelis hakim perkara menilai Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.
Salah satu kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani, mengatakan kliennya hanya mempertanyakan mengapa suara azan dari Masjid Al Maksun kepada seorang pedagang pada 22 Juli 2016. "Sekarang suara masjid kita agak besar ya," ungkap Ranto menirukan pernyataan yang dikatakan Meiliana kepada penjual yang biasa dipanggil Kak Uwo.
Aturan ihwal pengeras suara masjid ini sebenarnya sudah diatur sejak 1978 melalui instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Baca juga: Terdakwa Penistaan Agama Di Tanjung Balai Divonis 1,5 Tahun Penjara
Berikut lima poin aturan terkait pengeras suara masjid tersebut.
1. Perawatan penggunaan pengeras suara seharusnya dilakukan orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini menghindari suara bising, dengung, yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Quran, dan lain-lain) harus memiliki suara yang fasih, merdu, dan enak, tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, bahkan jauh dari menimbulkan rasa cinta dan simpati orang yang mendengar, selain menjengkelkan.
3. Memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan, seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat.
4. Orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah, atau sedang dalam upacara. Dalam keadaan demikian, kecuali azan, tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas: suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa, dapat dianggap sebagai hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntutan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Yang perlu diperhatikan adalah suara muazin tidak sumbang, tapi sebaliknya, enak, merdu, dan syahdu.