INFO NASIONAL - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menghormati upaya hukum yang dilakukan oleh setiap pihak yang ingin mencari keadilan di Republik ini, tak terkecuali upaya banding yang diajukan Meiliana ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Keputusan banding diambil setelah Meiliana tidak terima dengan vonis 18 bulan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Namun menurut Basarah, ke depan tidak semua masalah di masyarakat apalagi yang menyangkut hubungan antar umat beragama harus diselesaikan melalui jalur formil legalistik ke pengadilan, melainkan bisa dikedepankan dengan mekanisme musyawarah mufakat atau yang dalam bahasa hukum disebut jalan keadilan restoratif (memulihkan dan mengakomodir kepentingan semua pihak).
Baca Juga:
"Masalah tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, tidak harus dengan menggunakan pendekatan pidana. Sebab, hukum pidana adalah pilihan atau opsi terakhir dan sering disebut juga dengan istilah Ultimum Remedium," kata Basarah di Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2018.
Sekretaris Dewan Penasihat Baitul Muslimin Indonesia itu juga berharap, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dalam memutus masalah ini tetap menjaga kemandirian dan berada di atas kepentingan semua golongan, demi menjaga persatuan dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Idealnya, tiap putusan hakim memuat tiga hal, yaitu kepastian hukum, manfaat atau daya guna, dan yang paling penting adalah keadilan bagi sebanyak-banyaknya orang. Hukum harus ditegakkan dengan adil. Jangan sampai hakim dalam memutuskan perkara dipengaruhi oleh tekanan publik," ujar Basarah.
Baca Juga:
Wakil Ketua Lembaga Amal, Zakat, Infaq dan Sadaqoh Nahdlatul Ulama (LazisNU) itu juga meminta, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang akan mengadili banding Meiliana memperhatikan asas perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum (equality before the law), dikaitkan dengan vonis delapan orang pengrusak vihara dan klenteng di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, yang berkisar antara 1,5 bulan sampai 2 bulan 18 hari. Perlakuan yang adil ini akan mampu menjaga kepercayaan masyarakat kepada marwah lembaga peradilan.
Pada bagian lain, Basarah juga mengutip perjuangan dan sikap KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur dalam membela semua umat beragama dan kelompok mana pun, yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Gus Dur, menurut Basarah, dalam tindakan dan sikapnya selalu menunjukkan pesan Islam secara damai. Apa yang disampaikan oleh Gus Dur bukan hanya sebatas retorika, melainkan diterapkan dalam bentuk tindakan. "Bagi Gus Dur, yang perlu dibela adalah mereka yang terancam atau mengalami penindasan di seluruh aspek hidupnya, baik politik, ekonomi, budaya dan agamanya. Dalam melakukan pembelaan, Gus Dur juga tidak memandang latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan. Teladan inilah yang harus kita contoh dan kita ikuti," ucap Basarah.
Lata Basarah, kasus Meiliana bisa terjadi terhadap siapa pun dan dari golongan agama apa saja. Oleh karena itu, pemerintah harus mengefektifkan sistem pembinaan umat beragama di semua daerah, dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dan ormas-ormas keagamaan. “Fungsi lembaga pembinaan kerukunan antar umat beragama tersebut, seharusnya dapat menjadi mediator penyelesaian secara musyawarah mufakat jika terjadi perselisihan antar umat beragama di seluruh wilayah Indonesia,” kata Basarah.
Pada Selasa, 21 Agustus 2018, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis kepada Meiliana,, warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, satu tahun enam bulan penjara atas kasus penistaan agama. Hakim menilai ia terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya. (*)