TEMPO.CO, Mataram - Beralas karpet yang dibawa dari rumah, Atin Dina Mariana memangku anaknya yang tertidur di halaman Islamic Center, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Ahad malam, 19 Agustus 2018. Perempuan 35 tahun itu sesekali bergurau dengan kerabatnya, sesama korban gempa Lombok. Ada 12 orang keluarga Atin yang duduk berdesakan di karpet seluas 170 cm x 240 sentimeter itu. “Kalau sudah ngantuk, kami baru pindah ke tenda,” kata Atin.
Keluarga Atin merupakan satu dari ratusan warga Kota Mataram yang mengungsi di halaman Islamic Center Nusa Tenggara Barat di Jalan Langko, Selaparang, Kota Mataram. Mereka mendirikan tenda dari terpal yang dibawa sendiri sejak gempa 7 skala Richter mengguncang Lombok dan sekitarnya pada Ahad malam, 5 Agustus 2018.
Baca: Penjelasan BMKG Soal Dua Gempa Susulan di ...
Ia beserta dua anaknya yang berusia 12 tahun dan lima tahun berjalan kaki sekitar 3,3 kilometer dari kampungnya di pesisir Kampung Banjar, Ampenan, menuju ke Islamic Center. Sedangkan suami Atin berjaga di rumah karena putri sulungnya yang berusia 14 tahun pingsan. “Waktu itu kabarnya berpotensi tsunami. Kami panik dan mencari tempat yang jauh dari pesisir,” ujarnya.
Meski Kota Mataram bukan pusat gempa dan bangunan yang rusak tak sebanyak serta separah di Lombok Utara maupun Lombok Timur, Atin dan warga lain memilih bertahan di tempat pengungsian. Siang yang terik dan malam yang dingin kalah oleh rasa takut mereka akan gempa susulan. Mereka masih was-was pulang ke rumah. Bahkan ke toilet saja Atin dan keluarganya selalu khawatir.
Di Islamic Center, kata Atin, warga membuat toilet sederhana yang ditutupi spanduk. Untuk mandi, mereka baru menyeberang ke toilet di Masjid Jami, Kota Mataram. “Itu pun tidak kami kunci dan saling menunggu,” ujarnya.
Baca: PVMBG Ungkap Penyebab Gempa di Lombok ...
Kebutuhan makan dan minum pengungsi di Islamic Center juga mereka siapkan sendiri. Keluarga Atin minum air mentah dari keran. “Sehabis gempa itu airnya keruh. Tapi alhamdulillah kami tidak kenapa-kenapa,” kata dia. Untuk makan, Atin membawa kompor dari rumahnya untuk memasak di pengungsian.
Selama dua pekan itu, Atin juga tak bekerja. Biasanya sehari-hari ia berjualan gorengan di depan rumah. Kebutuhan membeli bahan makanan mengandalkan uang simpanan dari sanak famili lainnya.
Tak ada bantuan makanan untuk para pengungsi di Islamic Center. Meski demikian, Atin dan warga lainnya tak berkecil hati. “Warga di Lombok Utara dan Lombok Timur lebih membutuhkan karena di sana paling parah,” ujarnya.
Menurut Atin, sempat ada belasan dus air mineral, susu, dan cemilan lainnya yang dikirim oleh kepolisian. Namun, makanan itu didrop di salah satu tenda. Warga di tenda lain segan untuk meminta. “Karena di sini kami tidak ada koordinator maupun posko, sendiri-sendiri begini dengan keluarga masing-masing,” ujarnya.
Simak: Diaspora Indonesia di Belgia Galang Dana untuk Gempa Lombok ...
Selama dua hari terakhir, Atin dan keluarga sempat kembali ke rumah. Kompor dan peralatan lainnya itu ia bawa pulang dua hari lalu karena gempa sempat mereda. Pengungsian di Islamic Center juga sempat sepi. Namun, ia dan warga lainnya berbondong-bondong kembali mengungsi lagi saat gempa 6.5 SR mengguncang Lombok Ahad siang kemarin, 19 Ahad 2018. “Menara masjid di dekat rumah goyang-goyang hampir jatuh, jadi kami langsung lari ke sini lagi,” ucapnya. “Kami takut.”
Ia belum tahu kapan akan pulang lagi. Sama seperti Atin, keluarga Muhammad Jailani juga sudah dua pekan tinggal di pengungsian. Bahkan sang istri melahirkan ketika mengungsi itu. “Ini putra kami baru berusia tujuh hari,” kata Jailani. Ia menyematkan nama Muhammad Gentar Alfarizi untuk anak ketiganya itu. “Supaya tidak gentar dalam menjalani hidup dan untuk mengingat kejadian gempa ini,” ujar pria yang berkerja sebagai sopir travel itu.
Simak: Cerita Pengungsi Gempa Lombok di Islamic ...
Warga Dasan Agung, Selaparang, itu juga sempat pulang sejak dua hari lalu. Namun gempa Ahad siang kemarin memaksa dia beserta istri dan anak-anaknya kembali mengungsi. Bayi Gentar tertidur pulas di pojokan tenda. Badannya tertutup rapat selimut dan kelambu kecil. Sang ibu berada di sampingnya sembari memeluk putri keduanya. Putri pertama mereka sedang bermain-main bersama anak-anak lain.
Namun beberapa jam kemudian, gempa susulan berkekuatan 7 skala Richter mengguncang lagi pukul 22.56, Ahad kemarin. Lampu padam. Warga berhamburan dan panik. Mereka berbondong-bondong mencari tempat terbuka. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, terjadi 12 gempa sejak Ahad siang kemarin hingga Senin pagi ini, 20 Agustus 2018. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tercatat 460 orang meninggal dunia akibat gempa ini per 15 Agustus 2018. Sebaanyak 7.773 orang luka-luka dan 417.529 orang mengungsi.
Dari data sementara BNPB, gempa Lombok juga mengakibatkan 71.962 rumah rusak. Jumlah kerusakan terus bertambah seiring kerap terjadinya gempa susulan.
ABDUL LATIF APRIAMAN | LINDA TRIANITA