TEMPO.CO, Jakarta - Seminar Sejarah Sriwijaya dan Poros Maritim Dunia di Palembang, Sumatera Selatan, merekomendasikan tujuh butir yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dan sejarawan. “Pertama, perlu pembentukan pusat studi Sriwijaya,” kata Sekretaris Tim Rekomendasi Farida saat membacakan hasil rumusan di Hotel Artaduta Palembang, Rabu, 8 Agustus 2018.
Baca juga: Kembalikan Poros Maritim, Hilmar: Dirikan Pusat Studi Sriwijaya
Enam butir lainnya adalah perlu dilakukan penggalian sumber-sumber asing di berbagai negara; perlu peraturan daerah yang mengatur tentang penyelamatan cagar budaya; perlu penguatan tindakan penyelamatan cagar budaya dan lingkungan;
Perlu pengkajian nilai-nilai budaya komunitas indigenous; perlu penyebarluasan pengetahuan sejarah melalui teknologi dan media digital; perlu pengkajian lebih intensif tentang kemaritiman. Perumus lainnya adalah Kasijanto Sastrodinomo (Ketua), dengan anggota Agus Widiatmoko, Didik Pradjoko, Budi Wiyana, dan Anastasia Wiwik Swastiwi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Faridmengatakan perlu didirikan pusat studi mengenai Sriwijaya di Palemang. Alasannya, Sriwijaya pernah menjadi kerajaan maritim yang besar dan jaya, terutama pada abad ke-7 sampai 13 Masehi.
Hilmar berharap semua pihak, termasuk Pemerintah Sumatera Selatan, agar mendukung rencana ini. “Saya orangnya praktis. Sekali ditelorkan, harus ada hasil dalam tahun ini. Apakah bentuknya pertemuan-pertemuan awal untuk merancang. Apapun yang dilakukan menjadi satu langkah untuk merancang, menjadi titik awal yang baik,” ujar Hilmar, 6 Agustus 2018.
Ketua tim perumus, Kasijanto Sastrodinomo, menilai perdagangan amat dominan dalam penulisan sejarah Sriwijaya. “Artinya, penulisan tentang sejarah Sriwijaya masih dalam paradigma lama,” kata Kasijanto.
Dengan demikian, ujar dia, sejarah Sriwijaya masih dibayangkan dalam konteks sebagai kerajaan maritim, perdagangan, dan pelayaran. Meski demikian telah terlihat aspek-aspek lain yang ditawarkan oleh para pemakalah. “Antara lain hubungan internasional, bajak laut, geografi kesejarahan, dan transportasi,” ujar Kasijanto.
Dari beberapa persidangan, ujar dia, muncul keprihatinan mengenai kerusakan cagar budaya. “Selain itu, dibahas masalah khusus Orang Laut dan komunitas asli lainnya yang terpinggirkan sebagai akibat proses kemodernan,” kata Kasijanto. Juga soal penyelamatan benda-benda cagar budaya yang tenggelam di dasar laut dan sungai.
Untuk memperoleh pandangan baru, kedalaman studi dan peningkatan kualitas penelitian sejarah, diperlukan pengembangan sumber kajian yang lebih luas. “Diantara sumber sumber itu adalah filologi asing (Arab, India, Persia, Tibet, Tiongkok, dan Eropa), ekskavasi, tradisi lisan, sastra lama, dan lain-lain, untuk memperkaya kajian sejarah Sriwijaya khususnya dan Indonesia pada umumnya.” Ucap Kasijanto.
Kepala Sub Direktorat Geografi Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Agus Widiatmoko, mengatakan seminar yang berlangsung pada 6-9 Agustus 2018, itu menampilkan sekitar 50 makalah dan dihadiri oleh 250 peserta dari dalam dan luar negeri.
Agus berharap, hasil seminar ini dapat menguatkan flatporm Sriwijaya yang sering dimanfaatkan banyak pihak. "Tetapi apakah rohnya mencerminkan roh Sriwijaya? Apakah sekedar pesta rakyat biasa di tepi Sungai Musi? Ini perlu roh berupa nilai-nilai budaya dan sejarah Sriwijaya," kata Agus.