INFO JABAR - Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mengusulkan tiga langkah untuk merevitalisasi Sungai Ciliwung. Usulan perbaikan dilakukan melalui pengelolaan sumber daya air.
Pj Gubernur Jawa Barat Mochamad Iriawan mengatakan, perbaikan melalui revitalisasi sumber daya air ini bisa dilakukan melalui tiga hal. Pertama, integrasi kegiatan revitalisasi dari hulu hingga hilir. Kedua, penanganan secara struktural dan non-struktural. Ketiga, melalui koordinasi lintas sektor dan integrasi aspek kelembagaan serta sosial budaya.
"Kita harus integrasikan kegiatan dari hulu sampai hilir, berkesinambungan untuk pengelolaan sumber daya air," kata Iriawan dalam Rapat Penataan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, di Sekretariat Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Jakarta, Rabu, 25 Juli 2018.
Menurut Iriawan, masyarakat setempat betul-betul perlu sadar terhadap keberadaan sungai di sekitarnya. Ia juga mengusulkan agar ada sosialisasi, pengawasan, dan penertiban bangunan liar, seperti vila di daerah hulu di Kabupaten Bogor.
"Ini harus menjadi perhatian kita bersama, bagaimana pemilik-pemilik vila yang memang tidak pada tempatnya mendirikan vila. Mereka menyumbangkan kesalahan sehingga terjadi permasalahan lingkungan," ujar Iriawan di hadapan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Letjen TNI Doni Monardo.
"Harus ada sanksi sosial, pemilik vila diumumkan terus (menerus), baik di media, media sosial, kemudian di TV, dan lain sebagainya," ucapnya.
DAS Sungai Ciliwung merupakan salah satu dari 13 DAS yang dikategorikan dalam kondisi kritis. Total luas DAS 347 kilometer persegi atau 34.700 hektare. Sementara panjang sungai utamanya 124,1 kilometer. Lokasinya ada di dua provinsi, satu kabupaten, dan tujuh kota.
Luas DAS hulu Ciliwung mencapai 15.075,5 hektare, berada di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. DAS Ciliwung tengah luasnya 15.706,1 hektare berada di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Sementara DAS Ciliwung hilir seluas 6.295,5 hektare berada di Provinsi DKI Jakarta.
Permasalahan di Sungai Ciliwung, di antaranya kebijakan pengelolaan hutan yang tidak tepat, lemahnya penegakan hukum, dan alih fungsi lahan hutan menjadi kebun dan perkebunan. Persoalan lain, penebangan pohon dan penambangan liar, pengelolaan hutan yang kurang efektif, padatnya pemukiman penduduk liar seperti perumahan dan vila, serta konflik kepemilikan lahan. (*)