INFO NASIONAL - Kinerja Industri kelapa sawit saat ini sangat menggembirakan. Simak saja. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan bahwa nilai ekspor minyak sawit pada 2016 mencapai Rp 240 triliun.
Sayangnya, ekspor kelapa sawit nasional ke manca negara kini tengah menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Beberapa negara Eropa gencar menggelar kampanye negatif terhadap produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) asal Indonesia, terutama terkait isu deforestasi, pekerja anak, sampai pelanggaran hak asasi manusia. Hambatan tarif pun dilancarkan. Akibatnya, ekspor CPO Indonesia tersendat.
Baca Juga:
Padahal, total produksi CPO Indonesia kini sedang terus menanjak, sehingga over supply pun tak bisa dihindari. Pada 2017 produksi CPO Indonesia mencapai 37,8 juta ton per tahun. Lalu, tahun ini diperkirakan naik menjadi 39,8 juta ton per tahun.
Lalu, mau dikemanakan hasil produksi CPO sebanyak 39,8 juta ton itu jika Indonesia sulit mengekspornya? Dono menegaskan, Indonesia pasar domestik harus dimanfaatkan. “Saat ini, yang paling siap menyerap hasil produksi CPO adalah industri otomotif, dengan pemanfaatan biofuel,” kata Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Dono Boestami, pada acara Ngobrol@Tempo di Hotel Westin Jakarta 20 Juli 2018, yang bertema “Meningkatkan Konsumsi CPO Domestik untuk Penghematan Devisa.”
Pada acara yang dipandu oleh Direktur Tempo.co Y. Tomi Aryanto, yang tampil sebagai moderator, Dono menyatakan bahwa kebutuhan diesel domestik saat ini mencapai sekitar 36 juta kilo liter per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah harus mengimpornya, sehingga memboros devisa negara. Jika dilakukan peralihan penggunaan disel ke biodisel dari bahan CPO yang merupakan produk dalam negeri, Dono memperkirakan akan bisa dihemat devisa negara sebesar Rp 4,83 triliun per tahun, bahkan lebih.
Baca Juga:
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, yang juga tampil sebagai pembicara di acara Ngobrol@Tempo menyatakan, agar dapat memanfaatkan peluang yang ada di pasar domestik, pemerintah harus berani menegaskan keberpihakannya pada energi terbarukan.
Langkahnya, misalkan dengan memberikan insentif pada pengguna energi terbarukan. Umpamanya, pengguna bbm biasa dikenakan cukai yang tinggi, sementara pengguna biosolar dikenakan cukai yang rendah. Hal-hal seperti ini akan sangat memacu penggunaan biofuel. “Insentif seperti ini belum dilakukan di Indonesia,” ujar Prastowo.
Pembicara lainnya, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Yohannes Nangoi, menyatakan, industri otomotif siap mendukung penuh pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Namun, ia berharap penggunaan biofuel ini bisa sesuai dengan standar kualitas internasional.
Jangan sampai mobil menjadi mogok akibat menggunakan biofuel lokal karena kualitasnya belum memenuhi standar. Jangan sampai pula, untuk menyesuaikan dengan biofuel lokal, pelaku industri mobil harus melakukan terlalu banyak perubahan spesifikasi. “Jangan sampai kami harus membuat mobil khusus untuk pasar Indonesia saja, yang berbeda dengan yang kami buat untuk pasar ekspor, sehingga tidak efisien,” ucap Nangoi. (*)