TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi mulai mengurai keterlibatan pihak lain yang mendapat keuntungan dalam kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, Eni Maulani Saragih (Eni Saragih).
"Tentu penyidik harus mempelajari lebih jauh dan mengurai hubungan pihak lain yang mendapatkan keuntungan dalam kasus suap ini," ujar Juru bicara KPK, Febri Diansyah saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Selasa, 17 Juli 2018.
Baca: Golkar Coret Nama Eni Saragih dari Daftar Caleg DPR
Menurut Febri, dari barang bukti yang sudah ditemukan penyidik menduga ada komitmen fee senilai 2,5 persen dari proyek PLTU Riau I, yaitu uang telah terima oleh wakil komisi VII DPR Eni Saragih Rp 4,8 miliar.
Febri menyebutkan saat ini penyidik masih mengembangkan kasus ini. Jika ada dasar dan bukti yang sudah kuat, KPK tentu akan menindak lebih lanjut.
KPK mengagendakan memanggil sejumlah saksi untuk diperiksa terkait kasus yang menjerat Eni Saragih. "Akhir minggu ini sudah diagendakan pemeriksaan saksi dari unsur BUMN dan politisi," ujarnya.
Baca: 5 Fakta Soal Kasus Dugaan Suap Eni Saragih
Saat ini, penyidik KPK masih fokus pada perkara suap. Lembaga antirasuah telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, yaitu Eni Saragih dan bos Apac Group Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pihak pemberi suap.
KPK menyangka Eni menerima Rp 500 juta dari Johannes Budisutrisno Kotjo. Uang tersebut diduga untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.KPK menduga uang Rp 500 juta adalah bagian dari komitmen fee sebanyak 2,5 persen dari total nilai proyek.
Baca: Eni Saragih Minta Jokowi Tak Gagalkan Model Proyek PLTU Riau I
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap 13 orang pada Jumat, 13 Juli 2018 di beberapa tempat di Jakarta. Eni Saragih ditangkap di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham. Dalam OTT tersebut KPK juga menyita Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan tanda terima uang tersebut.