TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa tiga koper dan dua kardus usai menggeledah kantor PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB) di Jakarta pada Selasa, 17 Juli 2018. Penggeledahan tersebut terkait kasus dugaan suap PLTU Riau-I.
Baca juga: Eksklusif Eni Saragih dari Penjara KPK: Saya Menerima Rezeki
Penyidik menggeledah kantor anak usaha PT PLN itu pada Senin 16 Juli pukul 21.30 WIB dan baru selesai pada Selasa dini hari. Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan tim menggeledah ruang direktur utama dan komisaris PJB. "Penggeledahan dilakukan di ruang dirut dan direksi PJB," kata dia, Senin, 16 Juli 2018.
PT PJB dan PT PLN Batubara adalah anak usaha PLN yang ikut dalam konsorsium proyek pembangunan PLTU Riau. Dari pihak swasta, bergabung konsorsium Black Gold Natural Resources Limited, China Huadian Engineering Ltd dan PT Samantaka Batubara.
Kantor PT PJB menjadi tempat ketiga yang digeledah KPK. Sebelumnya, KPK juga menggeledah kantor PLN Pusat dan ruang kerja Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih di gedung DPR. Eni telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap PLTU Riau-I ini.
Baca juga: KPK Tangkap 12 Orang dalam Kasus OTT Eni Saragih
Febri mengatakan dari tiga lokasi itu KPK menyita dokumen yang menjelaskan skema kerjasama proyek PLTU Riau. Selain itu, tim juga menyita rekaman CCTV dan alat komunikasi. "Cukup banyak dokumen terkait Riau yang kami temukan," kata dia.
Pada Ahad, kemarin, KPK juga sudah menggeledah lima tempat. Salah satu tempat yang digeledah yakni rumah Direktur Utama PLN Sofyan Basir, apartemen pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dan rumah Eni. Pada penggeledahan tersebut, KPK menyita sejumlah dokumen dan surat elektronik yang berkaitan dengan kasus suap PLTU Riau-I.
Dalam kasus ini, KPK menyangka Eni Saragih menerima Rp 500 juta dari Johannes selaku pemegang saham Black Gold Natural Resources Limited. Uang diduga diberikan agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama pembangunan PLTU Riau 1.
Baca juga: Suap PLTU Riau, KPK Geledah Ruang Kerja Eni Saragih di DPR
KPK menduga uang Rp 500 juta adalah bagian dari komitmen fee sebanyak 2,5 persen dari total nilai proyek. Total uang yang diduga diberikan kepada Eni berjumlah Rp 4,8 miliar.