TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung akan mengesampingkan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi jika delik tindak pidana korupsi sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini rancangannya (RKUHP) tengah dibahas.
"UU yang baru akan mengesampingkan yang lama, itu prinsipnya. Kalau nanti sudah ada UU yang baru, sepanjang sudah diatur, pasti (UU lama) dinyatakan tidak berlaku," kata Abdullah di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat, 6 Juli 2018.
Baca: KPK Sebut Jokowi Setuju RKUHP Batal Disahkan 17 Agustus
Ketentuan ini mengacu pada asas hukum lex posterior derogat legi priori atau mengutamakan aturan baru. Abdullah mengatakan para hakim MA akan mengacu pada KUHP yang direvisi dan mengesampingkan pasal terkait dalam Undang-undang lain.
Namun Abdullah masih mempertanyakan apakah KUHP akan mengakomodir delik tindak pidana korupsi secara mendetail. "Ya kalau memang sudah terakomodir, kalau belum terakomodir ya tidak bisa," kata dia.
Abdullah mencontohkan ada ancaman hukuman yang lebih berat di rancangan KUHP ketimbang ancaman hukuman yang ada di UU Tipikor. Namun ada pula yang ancaman hukumannya lebih rendah. "Ini masalahnya bagaimana, mengikuti yang baru atau yang lama? UU Tipikor mau berubah atau tidak? Sepanjang sudah diatur di KUHP tentunya yang lain harus tunduk pada yang baru. Prinsipnya sudah jelas," ujarnya.
Baca: Temui Aliansi Masyarakat, Moeldoko Diskusi Soal Kontroversi RKUHP
Terlepas dari itu, kata Abdullah, saat ini MA masih menunggu selesainya pembahasan RKUHP oleh DPR dan pemerintah. Sebagai pengguna Undang-undang, kata Abdullah, Mahkamah tidak berwenang memberikan pandangan hukum ihwal ketentuan mana yang lebih baik diterapkan. "MA ini kan user, hanya menjalankan saja. Apa yang diputuskan DPR dan pemerintah menjadi UU ya itu yang akan jadi pedoman MA," kata dia.
Pembahasan RKUHP masih menyisakan sejumlah polemik, salah satunya ihwal delik tipikor. Rabu, 4 Juli lalu, Presiden Jokowi akhirnya bertemu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di Istana Bogor. Pertemuan itu berlangsung setelah KPK beberapa kali menyurati Presiden dan meminta agar pasal tipikor tak dimasukkan dalam RKUHP itu.
Baca: ICW Nilai Pasal RKUHP Berpotensi Ancam Kebebasan Pers
Lembaga antirasuah itu berkali-kali menyerukan agar delik tipikor sepenuhnya di UU khusus. Sebab, dimuatnya delik tersebut di KUHP dinilai akan melemahkan dan membatasi ruang gerak KPK dalam pemberantasan korupsi. Dari hasil pertemuan tersebut, Presiden Jokowi mengatakan akan mengakomodir permintaan KPK dan tak akan buru-buru mengejar tenggat pengesahan RKUHP.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Ginting menyampaikan, permasalahan yang ada di RKUHP sebenarnya tak hanya soal delik korupsi. Menurut Miko, persoalan RKUHP merentang dari konsistensi metode kodifikasi, adanya duplikasi pengaturan, proporsionalitas kriminalisasi, hingga tak jelas dan tak tepatnya pengaturan. "Tidak boleh berhenti pada persoalan delik korupsi saja. Pemerintah dan DPR juga perlu melakukan uji implikasi RKUHP," kata Miko melalui keterangan tertulis pada Kamis, 5 Juli 2018.