TEMPO.CO, Jakarta - Menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau kasus BLBI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya alasan belum memeriksa mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam skandal korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL). KPK beralasan proses hukum yang dilakukan berfokus pada penyelewengan dalam pelaksanaan kebijakan, bukan instruksi presiden yang melandasi penerbitan SKL.
"Menyangkut kebijakan itu sudah clear and cut kami tidak masuk di situ," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Kuningan, Jakarta, Jumat, 6 Juli 2018. Persoalannya, ujar dia, adalah bagaimana kebijakan itu diputar di bawah menjadi sebuah tindakan transaksional.
Baca:
Kasus BLBI, Kwik Kian Gie: Keputusan Megawati Berakibat Fatal
Kasus BLBI, Yusril Ihza Mahendra Bantah Terlibat Penerbitan SKL
SKL diterbitkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang disahkan Megawati pada 30 Desember 2002. SKL itu memberi jaminan pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para penerima BLBI yang dianggap telah melunasi utangnya.
Mantan Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie dalam kesaksiannya pada sidang perkara BLBI, Kamis, 5 Juli 2018, menyatakan Inpres itu diteken Megawati setelah tiga kali rapat kabinet terbatas.
Kwik mengatakan dalam tiap pertemuan selalu hadir Menteri Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan Boediono dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi. Kwik mengaku sendirian menentang penerbitan Inpres itu, sedangkan menteri lainnya mendukung penerbitan aturan yang kelak dikenal dengan nama Inpres Release and Discharge (R&D).
Baca:
Sidang Kasus BLBI, KPK: Saksi Semakin Perkuat Dakwaan Jaksa
KPK: Kerugian Negara di Kasus BLBI Rp 4,58 ...
Selama proses penyidikan kasus BLBI ini, KPK telah memeriksa Kwik, Boediono, Dorodjatun dan Laksamana Sukardi sebagai saksi untuk tersangka bekas Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam perkara ini Syafruddin didakwa bersama Dorodjatun merugikan negara Rp4,58 triliun dalam penerbitan SKL BLBI untuk pemilik Bank Dagang Negara Indonesia Sjamsul Nursalim.
Saut mengatakan penerbitan Inpres R&D sebagai sebuah kebijakan yang tak bisa dipidana. KPK hanya berfokus pada penyelewengan dalam pelaksanaan kebijakan itu. "Sejauh ini yang disimpangkan itu kan kebijakannya. Kemudian negara rugi, sudah itu aja," kata Saut.