TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch atau ICW menilai ada dua alasan jika ada partai yang berkeras mengajukan kader mantan narapidana korupsi untuk jadi calon legislatif (caleg) di pemilu. Salah satunya karena kader tersebut memiliki posisi tinggi di partai.
"(Kader) mantan napi itu memiliki posisi tinggi di partai dan juga pengaruh secara politik di internal partai itu. Maka mereka juga ngotot," ujar Koodinator Bidang Korupsi Politik ICW Donal Fariz di kantornya pada Kamis, 5 Juli 2018.
Baca: Begini Cara KPU Deteksi Bakal Caleg Mantan Napi Korupsi
Sebelumnya, terjadi pro-kontra terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pelarangan mantan napi korupsi untuk menjadi calon legislatif. PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang telah diundangkan itu dinilai tak sesuai dengan undang-undang.
Penolakan aturan ini datang dari sejumlah pihak, di antaranya DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Bahkan PKPU ini sempat ditolak diundangkan oleh Kemenkumham.
Baca: Undangkan PKPU Caleg, Kemenkumham: Kami Membuka Ruang Uji Materi
Menurut Donal, alasan lain jika partai tetap ingin mengusung caleg mantan napi korupsi karena kader tersebut memiliki dana dan basis massa. Hal itu, kata dia, dapat dimanfaatkan untuk memenangkan pemilu. "Misalnya, mantan napi korupsi dia kepala daerah mau maju di DPR itu kan bagus untuk partai. Kenapa? karena basisnya dia menjadi kepala daerah bisa dipakai untuk pemilu," kata dia.
PKPU itu akhirnya bisa menjadi batu sandungan bagi partai yang ingin mengusung kader mantan napi korupsi. Sebab aturan ini dapat tak meloloskannya calon legislatif yang diajukan untuk pemilu. "Ya mereka akan keberatan karena kader dan temannya bisa terganggu dan terhambat oleh PKPU ini," ujarnya.
Baca: Menteri Mau Jadi Caleg, Tim Ahli Wapres Pastikan Ada Penggantinya