TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan sejumlah keterangan saksi semakin memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam sidang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Misal, semakin clear bahwa memang piutang petambak udang berada dalam kondisi macet. Padahal inilah aset yang diklaim senilai Rp 4,8 triliun yang diserahkan ke BPPN untuk mengurangi kewajibannya pada negara," kata Febri dalam keterangan tertulis, Kamis, 5 Juli 2018.
Baca: Cerita Kwik Kian Gie Tolak Megawati Terbitkan Inpres SKL BLBI
Seharusnya karena piutangnya macet, kata Febri, Sjamsul Nursalim wajib mengganti dengan aset yang likuid. Namun pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) itu tidak kooperatif karena tidak bersedia memenuhi kewajibannya. Hal itu tampak dalam persidangan yang digelar kemarin.
Karena hal itu, Febri mengatakan Sjamsul tidak layak diberikan surat keterangan lunas (SKL). "Dalam kondisi belum seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim terpenuhi, terdakwa SAT justru memproses hingga menerbitkan surat keterangan lunas," kata Febri. Hal itu yag menurut Febri menjadi bagian dari pembuktian akhirnya negara dirugikan Rp 4,58 triliun.
Sidang lanjutan perkara korupsi BLBI kemarin menghadirkan eks Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kwik Kian Gie dan mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli sebagai saksi dalam sidang tersebut. Selain itu, jaksa menghadirkan Ketua BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan dan Ketua BPPN 2001-2002 I Putu Gede Ary Suta.
Baca: Kasus BLBI, Kwik Kian Gie: Keputusan Megawati Berakibat Fatal
Dalam perkara ini, KPK mendakwa Syafruddin telah merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim. Jaksa juga mendakwa Syafruddin memperkaya Sjamsul lewat penerbitan SKL tersebut.
Bank Indonesia memasukan BDNI ke dalam program penyehatan bank di bawah pengawasan BPPN pada Februari 1998. BPPN kemudian mendapati BDNI melakukan pelanggaran atas penggunaan BLBI. BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu sejumlah penasihat finansial membuat neraca penutupan BDNI dan menghitung jumlah kewajiban yang harus dibayar sekitar Rp 47 triliun. Dari total itu, Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang harus dibayarkan Sjamsul sebesar Rp 28,4 triliun. Sebanyak Rp 18,8 triliun sisanya dibayar memakai aset BDNI.
Baca: Kwik Kian Gie Sebut Peran Yusril Ihza dalam Penerbitan SKL BLBI
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 4,8 triliun aset BDNI yang disita adalah berupa piutang petambak plasma kepada PT Dipasena Citra Dermadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Berdasarkan audit Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co, piutang tersebut masuk kategori kredit macet. Sjamsul dianggap melakukan misinterpretasi atas nilai hutang petambak tersebut. BPPN memintanya menambah jumlah aset yang disita untuk menutupi kekurangan, namun dia menolak.
Syafruddin selaku Kepala BPPN kala itu menyimpulkan Sjamsul tidak melakukan misinterpretasi karena memunculkan hutang petambak seolah hutang lancar. Atas keputusan Syafruddin, BPPN kemudian melakukan restrukturisasi hutang petambak menjadi Rp 3,9 triliun, dengan Rp 2,8 triliun dianggap kredit macet dan sisanya Rp 1,1 triliun sebagai hutang yang bisa ditagih.
Dalam Sidang Kabinet Terbatas (ratas) 11 Februari 2004 dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Syafruddin mengusulkan kemungkinan penghapusbukuan terhadap hutang Rp 2,8 triliun kredit macet tersebut. Rapat tidak mencapai kesimpulan, namun Syafrudin didakwa membuat seolah-olah rapat menyetujui usulan tersebut.
Baca: Kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung Pertanyakan Peran BI
Pada 17 Maret 2004, BPPN dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) menggelar rapat membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun, Syafrudin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya mengenai misinterpretasi yang dilakukan Sjamsul. Syafruddin juga tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misinterpretasi itu.
KKSK akhirnya mengeluarkan keputusan yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban kepada Sjamsul. Pada 12 April 2004, Syafrudin dan Itjih S. Nursalim menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang menyatakan pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam MSAA.
Adapun hak tagih hutang petambak sebanyak Rp 1,1 triliun kemudian terjual kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand sebesar Rp 220 miliar. Dengan memperhitungkan hasil penjualan itulah, jaksa mendakwa Syafrudin telah merugikan negara sebanyak Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim.
Baca: Jaksa: Kasus BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung itu Pidana Korupsi