TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Universitas Padjajaran Muradi menilai pertemuan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertujuan menurunkan tensi politik jelang pemilihan presiden. Muradi tidak melihat ada potensi perpecahan antara JK dan Presiden Joko Widodo.
“Pemerintah berharap pilpres berakhir dengan tenang, artinya tidak ada turbulensi politik. Jadi pertemuan mereka untuk itu,” kata dia saat dihubungi, Rabu, 27 Juni 2018.
Baca: Jusuf Kalla Tegaskan Tak Bicara Politik dengan SBY
Sebelumnya, JK bertandang ke kediaman SBY di Kuningan Jakarta, Senin, 25 Juni 2018. JK datang bersama istrinya, Mufidah Kalla, menemui SBY, Ani Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono. JK dan SBY kompak mengaku tidak membahas politik dalam pertemuan itu. JK menyatakan hanya bersilaturahmi ke rumah SBY. "Beliau bagi saya saudara, sahabat, bekas anak buah," ujar JK.
JK juga berencana bertemu dengan partai oposisi pemerintah, yakni Partai Kesejahteraan Sejaktera (PKS) malam ini.
Menurut Muradi, safari politik yang dilakukan JK merupakan bagian dari upaya pemerintah Presiden Joko Widodo untuk meredam tensi politik yang kian memanas jelang pilpres 2019. Dia melihat hal yang sama dilakukan Jokowi saat bertemu dengan aktivis Aksi Kamisan beberapa waktu lalu. “Ini pembagian tugas antara Jokowi dan JK saja,” kata dia.
Baca: JK Sambangi Kediaman SBY
Muradi mengatakan Jokowi tidak mungkin bertemu langsung dengan SBY ataupun partai oposisi pemerintah. Menurut dia resistensi internal partai politik oposisi terhadap Jokowi terlalu besar. Selain itu, pertemuan antara Jokowi dan partai oposisi hanya akan memberikan lawan politik isu untuk dibesar-besarkan. Sementara, dia menilai posisi JK lebih netral.
“Kita bisa lihat omongan JK yang menyebut dia dulu bawahannya SBY. Dalam posisi ini, JK tidak merasa menjadi bagian dari perbedaan dalam politik, mereka merasa berteman,” kata dia.