TEMPO.CO, Jakarta - Gugatan sejumlah aktivis politik dan akademisi atas aturan presidential threshold di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai penting, tapi tidak bisa diterapkan untuk pemilihan umum 2019.
"Sah-sah saja menggugat sekarang. Tapi lebih bijaksana kalau diberlakukan pada pilpres (pemilihan presiden) selanjutnya. Kalau untuk pemilu 2019, bikin kacau nanti," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, saat ditemui dalam acara open house Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Oesman Sapta Odang di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu, 16 Juni 2018.
Baca Juga: Banyak Protes Soal Presidential Threshold, Ini Komentar Presiden Jokowi
Pasal presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilihan Umum memang membatasi jumlah kandidat yang bisa berlaga di pemilihan presiden 2019. Gugatan ini diharapkan membuka ruang bagi munculnya lebih dari dua calon presiden.
Jimly menilai perubahan aturan pada waktu yang sudah dekat menjelang pendaftaran calon presiden bisa berdampak besar terhadap mekanisme pilpres 2019 yang telah ditetapkan. "Apalagi pendaftaran pilpres tinggal dua bulan lagi, Agustus. Kemudian, jika memang ada perubahan, ya, harus diputuskan sebelum pendaftaran," ucapnya.
Baca Juga: Saldi Isra: Presidential Threshold Bisa Bikin Pemerintah Otoriter
Penggugat presidential threshold ini sendiri adalah 12 tokoh publik, di antaranya mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqqodas dan Bambang Widjojanto; mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri; serta mantan pemimpin Komisi Pemilihan Umum Hadar M. Gumay. Ada pula sejumlah akademisi, seperti Rocky Gerung, Faisal Basri, dan Robertus Robert. Tak hanya itu, ada Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Perludem Titi Anggraini, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, sutradara Angga Dwimas Sasongko, dan pekerja profesional, Hasan Yahya.
Selain 12 tokoh publik tersebut, Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, juga mendaftarkan gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke MK. Denny beralasan mengajukan gugatan ini untuk mengembalikan pemilihan umum langsung ke tangan rakyat.
Baca Juga: Gugatan Presidential Threshold Ditolak di MK, Ini Komentar Demokrat
“Bagaimana kehendak rakyat yang menginginkan ada banyak pilihan capres, tidak seperti sekarang yang terbatasi karena aturan ini,” tuturnya saat dihubungi, Rabu, 13 Juni 2018. Pasal presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu mensyaratkan ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah pemilu.
Gugatan terhadap pasal presidential threshold bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra pernah menggugat pasal ini ke MK pada 2017. Yusril saat itu berargumen pasal tersebut inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22e UUD 1945. Selain Yusril, Partai Idaman bentukan Rhoma Irama juga pernah mengajukan gugatan terhadap pasal ini. Namun MK menolak kedua gugatan tersebut.
Baca Juga: Penggugat Presidential Threshold Dinilai Hanya Wakili Satu Kelompok
Denny mengatakan telah menyiapkan sekitar enam argumen baru dalam gugatannya ini. Salah satu argumen yang akan dia pakai adalah peraturan ini membuka peluang munculnya calon presiden tunggal. “Namanya pemilihan, secara logika minimal harus dua calon, bukan satu. Peluang munculnya satu calon presiden harus dicegah,” kata dia. Adapun batu uji yang akan dia pakai dalam gugatannya adalah Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur soal pemilihan calon presiden dan wakil presiden.