TEMPO.CO, Banjarmasin - Keluarga Muhammad Yusuf, wartawan Berantas News dan Kemajuan Rakyat yang tewas di Lapas Kelas IIB Kotabaru sebenarnya setuju dilakukan autopsi terhadap almarhum. Penasehat hukum almarhum Muhammad Yusuf, Nawawi mengakui, istri korban T Arvaidah memang sempat meneken sejumlah surat yang salah satunya berisi penolakan autopsi.
Nawawi mengatakan, surat tersebut disodorkan oleh tim Kejaksaan Negeri Kotabaru. Namun Nawawi menyesalkan tim kejaksaan tidak menjelaskan secara detail surat-surat apa saja yang mereka sodorkan. “Lah ini (surat menolak otopsi) dari mana? Ini bahaya, otopsi enggak main-main. Kejaksaan main-main saja. Kenapa jaksa tidak transparan apa isi surat itu,” kata Nawawi kepada Tempo, Kamis 14 Juni 2018.
Baca: Jaksa Ungkap Kronologi Meninggalnya Wartawan Muhammad Yusuf
Nawawi menceritakan kronologi perlakuan Kejaksaan Negeri Kotabaru dan Polres Kotabaru terhadap jenazah Yusuf selama di RSUD Kotabaru. Nawawi berkata polisi sempat menyatakan istri almarhum Yusuf, T Arvaidah, menolak otopsi setelah meneken surat pernyataan. Kepada Nawawi, polisi lalu menunjukkan bukti tandatangan bahwa Arvaidah menolak otopsi atas jenazah Yusuf.
Ia terkejut melihat surat it. Sebab, Arvaidah justru ingin dilakukan otopsi. Setelah ditelusuri, ia berkata, tim Kejaksaan Negeri Kotabaru ternyata tidak menjelaskan gamblang makna isi surat-surat yang ditandangani oleh Arvaidah. Nawawi menuturkan ada tiga surat yang diteken oleh Arvaidah. Namun cuma surat penerimaan mayat yang dia ketahui. Menurut Nawawi, Arvaidah menganggap dua surat lain itu sekedar lampiran penerimaan mayat. Belakangan dia tahu, Arvaidah ternyata meneken surat penolakan otopsi.
Baca: Yusril Minta Jenazah Muhammad Yusuf Diautopsi
Alhasil, Nawawi dan Arvaidah pun terperanjat setelah sadar menandatangani surat penolakan otopsi di antara tiga lampiran surat. Menurut dia, otopsi jenazah seharusnya dilakukan sejak masih di rumah sakit. “Namanya kan ibu-ibu, orang desa, ya ditandatangani saja. Kejaksaan enggak fair. Kami akan gugat perdata maupun pidana dari mulai Polres Kotabaru yang menetapkan almarhum sebagai tersangka dan penangkapan yang tidak manusiawi di areal publik,” ujar Nawawi.
Menurut dia, Yusuf tidak pantas dijebloskan ke penjara karena ancaman hukuman di bawah lima tahun. Ia mengatakan pokok materi yang digugat mengacu KUHAP ihwal pencemaran nama baik dan penangkapan memalukan almarhum karena ditangkap di Bandara Syamsudin Noor. Selain itu, Nawawi menggugat penetapan berkas P21 dari kepolisian ke kejaksaan dan perlakuan jaksa terhadap almarhum selama di Lapas IIB Kotabaru.
Ia rencananya melayangkan surat gugatan pada Kamis 14 Juni, tapi batal karena menjelang Lebaran Idulfitri 1439 Hijriah. “Kejaksaan tahu bahwa klien kami ada penyakit serius, paru-paru dan asma. Kematian Yusuf kami duga tidak wajar sesuai ciri-ciri yang kami dapat, tapi lebih jelasnya setelah otopsi, otopsi ini perintah Kapolda langsung. Rencana otopsi 29 Juni, sebenarnya terlalu lama,” ucap pengacara dari LBH Setyanagara itu.
Polisi menjebloskan Yusuf atas tuduhan menulis berita provokasi, pencemaran nama baik, dan tidak berimbang sehingga merugikan perusahaan kelapa sawit PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM)— perusahaan di bawah sosok Syamsudin Andi Arsyad (Haji Isam.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Suhartomo, berkukuh tidak ada unsur penganiayaan terhadap Yusuf sebelum dilaporkan tewas di RSUD Kotabaru. Menurut dia, sosok terdakwa sudah dalam keadaan sakit-sakitan dan menderita penyakit jantung. Sebelum meninggal dunia, Suhartomo berkata Yusuf sempat dirawat inap di RSUD Kotabaru dengan keluhan penyakit jantung. “Pada saat meninggalnya Yusuf mungkin cukup kronis," kata Suhartomo.
DIANANTA P SUMEDI