TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Habiburokhman menilai tudingan Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (Wasekjen DPP) Partai Gerindra Mohammad Nurruzaman bahwa Fadli Zon menghina Yahya Staquf, tidak tepat. Menurut Habiburokhman, tindakan Yahya, pembicara dalam sebuah acara di Israel tidak hanya diprotes Fadli Zon, tapi juga banyak tokoh dari partai lain.
"Bahkan Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama menyatakan kehadiran Pak Yahya di sana tidak ada hubungannya dengan organisasi," ujar Habiburokhman dalam keterangannya, Rabu, 13 Juni 2018.
Baca:
Wasekjen Gerindra Keluar dari Partai, Gara-gara ...
Wasekjen Gerindra Tuding Fadli Zon Hina ...
Mohammad Nurruzaman keluar dari Partai Gerindra salah satu alasannya karena pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang dianggap menghina anggota Dewan Pertimbangan Presiden sekaligus Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf.
Fadli Zon menyindir kegiatan Yahya Cholil ke Israel untuk menyampaikan kuliah umum yang diselenggarakan oleh The Israel Council on Foreign Relations, sebagai perbuatan yang memalukan bangsa Indonesia. “Cuma ngomong begitu doang ke Israel. Ini memalukan bangsa Indonesia. Tak ada sensitivitas pada perjuangan Palestina. #2019GantiPresiden”. Begitu bunyi cuitan Fadli Zon yang dikutip dari akun twitter-nya@fadlizon.
Baca:
Wasekjen Gerindra Sebut Akan Ada Pertemuan ...
Sekjen PDIP: Pertemuan Puan dan Prabowo Tak ...
“Kemarahan saya memuncak karena hinaan saudara Fadli Zon kepada kiai saya, KH Yahya Cholil Staquf." Yahya yang berbicara pada acara di Israel itu, kata Nurruzaman, diramaikan dan dibelokkan menjadi hal politis dengan isu ganti presiden. "Bagi santri, penghinaan terhadap kiai adalah tentang harga diri dan marwah.” Nurruzaman menulisnya, Selasa malam, 12 Juni 2018.
Alasan lain pengunduran diri Nuruzaman dari Gerindra, karena menilai Partai Gerindra sudah tidak sejalan lagi dengan jalan perjuangannya. Nurruzaman menyebut Gerindra makin liar ikut menari dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), termasuk pada kampanye Pilkada DKI Jakarta lalu.