TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menilai rencana Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir untuk mendaftar semua nomor ponsel dan akun media sosial mahasiswa dan dosen dalam rangka pencegahan penyebaran radikalisme di kampus sebagai usulan tak bermutu.
"Itu usulan yg sangat tidak bermutu, bahkan menggelikan," kata Harits dalam siaran tertulisnya pada Senin, 11 Juni 2018.
Menristekdikti Mohamad Nasir sebelumnya akan meminta rektor di seluruh perguruan tinggi untuk mendata nomor handphone dan media sosial mahasiswa hingga dosen dalam rangka mencegah radikalisme di kampus. Menurut dia, media sosial perlu diawasi karena rentan disalahgunakan.
Baca: Universitas Indonesia Bicara Soal Mahasiswa Laporkan Media Sosial
Untuk menyiapkan berbagai langkah mengantisipasi paparan paham radikal di kampus, Nasir juga segera memanggil seluruh rektor di perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk membahas hal tersebut. Pemerintah juga sudah menyiapkan kurikulum dan secara teknis, akan dilakukan langkah-langkah pengawasan.
Harits mengatakan bahwa usulan tersebut bersifat emosional dan tak rasional untuk dunia kampus. Menurut dia, usulan tersebut beresiko ditentang ramai-ramai dan hanya akan memperburuk wajah rezim Presiden Joko Widodo atau Jokowi. "Jangan setengah hati kalau mau cacat nalar dalam mengelola dunia kaum intelektual," ujarnya.
Baca: Kemenkominfo Belum Terima Permintaan Awasi Medsos Mahasiswa
Menurut Harits, dampak yang bisa terjadi dengan adanya usulan tersebut, di antaranya beban terhadap APBN karena bisa saja ada penambahan anggaran untuk kontra radikalisasi yang diajukan Menristekdikti dan Menteri Komunikasi dan Informatika. Bahkan, kata Harits, bisa saja setiap kampus perlu diusulkan adanya fakultas khusus untuk menderadikalisasi para mahasiswa dan dosen yang terpapar radikalisme.
Selain itu, dampak usulan tersebut bisa saja melahirkan kebijakan dengan membuat persyaratan bagi calon mahasiswa baru agar lulus dan punya sertifikat bebas terpapar radikalisme untuk masuk perguruan tinggi. Ia juga membayangkan Menristekdikti nantinya bisa menggandeng Badan Intelijen Negara atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk membuat desk cyber agar memonitor 24 jam semua konten komunikasi dari para mahasiswa dan dosen.
"Intinya, silakan saja dengan kewenangan yang ada untuk melahirkan keputusan apa saja. Tapi jangan lupa semua resikonya ke depan juga harus berani tanggung dunia akhirat," kata Harits.
Baca: Universitas Paramadina Usulkan Alternatif Mencegah Radikalisme