TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu masih membahas sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dianggap tidak konsisten saat memberikan keterangan perihal dugaan pelanggaran kampanye Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Sebab, inkonsistensi ini dinilai menjadi penyebab dihentikannya penyidikan perkara PSI di kepolisian. "Masih dibahas dalam rapat pleno," ujar Ketua Bawaslu Abhan saat ditemui Tempo di kantornya, Ahad, 10 Juni 2018.
Namun Abhan enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai pembahasan tersebut. "Hasilnya belum selesai karena banyak yang sedang kami bahas," ucapnya.
Baca: Bawaslu Bahas Sikap KPU Soal Dugaan Pelanggaran Kampanye PSI
Awalnya, Bawaslu melaporkan PSI ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri lantaran memasang iklan di koran Jawa Pos pada 23 April 2018. Iklan itu menampilkan logo dan nomor urut partai. Bawaslu menilai iklan itu termasuk pelanggaran iklan di luar jadwal berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019, yang mengatur masa kampanye di media massa pada 24 Maret-13 April 2019.
Setelah berjalan sepekan, kepolisian menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara atas dugaan tindak pidana pemilihan umum PSI. Alasannya, KPU mengaku belum menetapkan jadwal kampanye. Selain itu, peraturan KPU tentang kampanye belum disahkan. "Saat diperiksa di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (beranggotakan Bawaslu, kepolisian, dan Kejaksaan Agung), KPU menyebut PSI melanggar," kata anggota Bawaslu, Ratna Dewi.
Simak: PSI Laporkan Ketua Bawaslu ke Ombudsman
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto membenarkan pihaknya telah menghentikan penyidikan perkara PSI pada 31 Mei lalu. Dalam proses penyidikan, kata dia, penyidik telah meminta keterangan dari KPU, Bawaslu, dan Kejaksaan Agung. "Berdasarkan hasil gelar perkara, disimpulkan bahwa kasus PSI tidak termasuk tindak pidana pemilu," tutur Setyo.
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, membantah tudingan Bawaslu bahwa dirinya memberikan pernyataan yang tidak konsisten. "Bukan perbedaan pernyataan, tapi memang ada pertanyaan yang berbeda," tuturnya. Wahyu pun menegaskan KPU memang belum menerbitkan peraturan mengenai jadwal kampanye pemilihan umum 2019.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, berpendapat keputusan akhir ihwal pelanggaran administrasi pemilu merupakan kewenangan KPU. Sedangkan ranah Bawaslu adalah mengkaji laporan dan menyelesaikan sengketa pemilu. "Keduanya sudah memiliki peran masing-masing," ujarnya saat dihubungi Tempo beberapa waktu lalu.
Lihat: PSI Laporkan Ketua Bawaslu ke Ombudsman
Dalam Pasal 492 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diatur bahwa peserta pemilihan yang melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan KPU bisa dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.
Pasal 1 ayat 35 undang-undang yang sama menyebutkan definisi kampanye sebagai kegiatan peserta pemilihan atau pihak lain yang ditunjuk peserta untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilihan.
DEWI NURITA | IMAM HAMDI | ANDITA