TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai penggodokan draft rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak sesuai dengan persyaratan pembentukan Peraturan Perubahan Undang-undang.
"Kami melihat proses pembahasan RKUHP ini tidak sesuai dengan persyaratan pembentukan Perpu," Wakil Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Abdullah Dahlan di Jakarta Pusat, Kamis 7 Juni 2018.
Baca: PP Muhammadiyah Desak Jokowi Cabut Draft RKUHP
Hal tersebut, kata Dahlan, terlihat dari tidak terlibatkanya instansi terkait seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pembahasan RKUHP. Menurut dia, kalau KPK terlibat dalam pembahasan tersebut, tentu reaksi lembaga antirasuah itu tidak akan menolak.
"Kalau KPK terlibat dalam pembahasan RKUHP, tidak mungkin reaksi KPK seperti ini, hingga menyurati presiden. Ini kan tandanya KPK tidak dilibatkan," ujarnya.
Penolakan KPK itu terkait masuknya delik tindak pidana luar biasa korupsi ke dalam RKUHP. KPK menilai ada potensi pelemahan lembaga antirasuah maupun pemberantasan korupsi jika delik korupsi dimasukkan dalam RKUHP. KPK menolak bahasan delik pidana khusus itu dalam RKUHP. Dan menyurati Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan hal tersebut.
Baca juga: Soal Pasal Tipikor di RKUHP, DPR Akan Cari Jalan Tengah
KPK menilai keinginan dari pemerintah dan DPR menyatukan delik pidana khusus dalam RKUHP merujuk kepada KUHP Belanda. Menurut KPK, kondisi korupsi yang terjadi di kedua negara ini tidak bisa disamakan. Korupsi di Belanda tidak semasif di Indonesia.
Selain itu, kata Dahlan, DPR juga tidak melibatkan masyarakat sipil. Artinya pembahasan ini tidak terbuka. "Jadi terkesan ada motif lain di balik RKUHP ini," ujarnya.