TEMPO.CO, Jakarta - Anggota tim perancang rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Muladi bercerita mengenai perjalanan panjang penyusunan RKUHP. Menurut dia, KUHP yang berlaku sekarang direkomendasikan untuk diperbarui sejak tahun 1963.
"Tahun 1964 rancangan yang pertama saat seminar di Semarang, waktu saya masih mahasiswa," kata Muladi dalam konferensi pers tim perancang RKUHP dari pemerintah di kantor Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan pada Rabu, 6 Juni 2018.
Muladi menjelaskan RKUHP yang akan datang merupakan kodifikasi yang terbuka. "Artinya kalau ini disahkan, nanti ada perkembangan baru," ujarnya.
Baca: Wiranto Janji Delik Korupsi di RKUHP Tak Akan Lemahkan KPK
Selain tindak pidana umum, RKUHP akan mengatur soal tindak pidana khusus. Disebut tindak pidana khusus karena tindak pidana ini, menurut Muladi, memiliki karakter yang istimewa, khusus, dan memerlukan pengaturan sendiri. Misalnya terorisme, pelanggaran HAM berat, korupsi, dan pencucian uang.
Kejahatan itu disebut tindak pidana khusus karena dampak korban atau viktimisasinya secara luas dan multidimensi, seperti korupsi yang melanggar prinsip demokrasi dan keuangan negara.
Baca: Jokowi Janji Akan Pertimbangkan Masukan KPK Soal RKUHP
Karena itu, Muladi menjamin setelah disahkan, KUHP ini tidak akan mengganggu lembaga-lembaga yang menjalankan masing-masing UU. Sebab, kata dia, KUHP adalah hukum materil dan bersifat luas sedangkan undang-undang lainnya bersifat khusus atau lex generalis.
Muladi juga menerangkan dalam RKUHP, ada Pasal 729 yang menjelaskan tentang aturan peralihan. Isi pasal ini berbunyi "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam Undang-Undang masing-masing."
Maka, kata Muladi, saat undang-undang ini berlaku, ketentuan tentang tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam undang-undang masing-masing. "Ada KPK, ada BNN, PPATK, ada Komnas HAM," ujarnya.
Baca: Kontroversi RKUHP, Yasonna: Kapan Kami Ada Rencana Bubarkan KPK?