TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan sudah menerima surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait delik korupsi dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perkara (RKUHP). Dia berjanji akan mempertimbangkan masukan dari lembaga antirasuah itu.
Jokowi mengatakan baru melihat surat tersebut kemarin. Saat ini timnya yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sedang mengkaji soal masuknya pasal-pasal korupsi di RKUHP. Jokowi berjanji akan mengumumkan hasilnya kepada publik segera setelah kajian selesai.
Baca: Delik Khusus di RKUHP Masih Menyisakan Masalah
Menurut dia, fokus utama pemerintah dalam kajian ini adalah memperkuat KPK. "Intinya kami tetap harus memperkuat KPK," katanya di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa, 5 Juni 2018.
KPK sebelumnya mengirim surat kepada Jokowi yang berisi penolakan masuknya delik pidana khusus soal korupsi dalam RKHUP. Lembaga anti rasuah itu menilai ada potensi pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi. Selain itu, KPK sudah berjalan dengan mengacu kepada aturan khusus yaitu UU Tipikor.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menyuarakan hal yang sama. Anggota Aliansi, Lalola Easter mengatakan kewenangan KPK untuk menyelidik, menyidik, dan menuntut sesuai UU KPK tak akan berlaku setelah RKUHP berlaku. Dalam Pasal 729 RKUHP, terbuka peluang bagi lembaga independen lain untuk menangani tindak pidana khusus. Namun Pasal 723 RKUHP kembali mementahkan kekuatan Pasal 729.
Baca: 10 Alasan KPK Tolak Masuknya Delik Korupsi dalam RKUHP
Lalola mengatakan, delik korupsi dalam RKUHP juga lebih banyak menguntungkan koruptor. Berdasarkan RKUHP per 8 Maret 2018, pidana denda pada tindak pidana korupsi dibuat lebih rendah dari UU Tipikor. Jika pidana denda dan pidana badan dijatuhkan secara kumulatif, pidana tersebut tidak boleh melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan.
Pidana terhadap pelaku percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat korupsi pada RKUHP juga lebih rendah dari UU Tipikor. Pidana yang dijatuhkan tak lagi sama dengan pelaku pidana.
Kelemahan RKUHP lainnya adalah tak adanya pidana tambahan berupa uang pengganti seperti di UU Tipikor. Lalola menilai pidana itu seharusnya dipandang sebagai upaya pemulihan aset.