TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Supriadi Rustad menilai institusi pendidikan memiliki peluang terpapar radikalisme. "Kali ini, ada fakta bahwa kampus terpapar radikalisme. Saya kira sama dengan institusi lain, kampus bukan tempat yang steril sempurna," ujar Supriadi melalui pesan pendek, Senin, 4 Juni 2018.
Pernyataan Supriadi itu bukan tanpa sebab. Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap tiga terduga teroris di Universitas Riau pada 2 Juni 2018. Polisi pun melakukan penggeledahan. Hasilnya, polisi menemukan dua bom pipa yang siap diledakkan. Ketiganya menyasar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Riau dan DPR untuk diledakkan.
Baca: BNPT Sebut Universitas Rentan Radikalisme, UI Punya Skema Ini
Pernyataan Supriadi memperkuat hasil penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengenai paparan radikalisme di lingkungan kampus. BNPT menemukan paparan radikalisme di perguruan tinggi di Indonesia sudah terjadi sejak 30 tahun lalu. "Sekarang semua kampus di Jawa sudah kena,” kata Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Hamli, seperti dimuat dalam majalah Tempo edisi 27 Mei-2 Juli 2018.
Penelitian BNPT juga memperkuat temuan lembaga penelitian lain yang menunjukkan tingginya paparan radikalisme di tingkat mahasiswa. Misalnya, penelitian Alvara Research Center pada Oktober 2017 menyebutkan 23,5 persen menyetujui gerakan Negara Islam Irak dan Suriah. Selain itu, 23,4 persen menyetujui kesiapan untuk berjihad mendirikan khilafah. Penelitian ini melibatkan 1.800 responden di 25 universitas se-Indonesia.
Baca: Paham Radikalisme Intensif Masuk Kampus sejak Deklarasi ISIS
Supriadi berpendapat, perlu adanya revitalisasi pendidikan agama yang bisa membentuk sikap toleransi untuk menanggulangi paparan radikalisme di lingkungan kampus. Pemerintah, ucap dia, perlu merumuskan capaian pembelajaran pendidikan agama di perguruan tinggi.
Namun, menurut Supriadi, rumusan soal revitalisasi pendidikan agama untuk menanggulangi radikalisme tersebut harus diserahkan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. "Dalam bayangan saya, untuk tingkat perguruan tinggi, perbedaan agama perlu diajarkan, supaya tumbuh rasa saling menghormati," tuturnya.