TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat belum menetapkan solusi atas permasalahan ratusan ribu pekerja honorer di seluruh Indonesia yang berharap diangkat menjadi pegawai negeri. Meski bersepakat akan menyelesaikan status kepegawaian para pegawai honorer selambat-lambatnya tahun ini, payung hukum pengangkatan mereka belum diputuskan.
Senin, 3 Juni 2018, untuk pertama kalinya status pegawai honorer dibahas dalam rapat akbar gabungan antara tujuh komisi di DPR dan sembilan kementerian. Rapat akbar itu hanya menyamakan data dan persepsi antara eksekutif dan legislatif mengenai jumlah tenaga honorer yang perlu diangkat. “Apakah jadi PNS ataukah menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), akan dibahas lagi kemudian,” kata Wakil Ketua DPR Utut Adianto yang memimpin rapat.
Baca: MenPAN-RB Telusuri Data Siluman Pegawai Honorer
Menurut Utut, payung hukum pengangkatan para tenaga honorer juga baru dibahas lagi dalam rapat selanjutnya, yaitu pada 23 Juli mendatang. Selain membicarakan skema pengangkatan, DPR menawarkan payung hukum, yakni percepatan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, atau revisi sejumlah peraturan pemerintah yang mengatur ASN.
Sejak akhir 2016, pembahasan revisi UU ASN jalan di tempat karena pemerintah tak kunjung menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) ke DPR. Padahal revisi itulah yang menentukan nasib 438 ribu tenaga honorer kategori 2 (K-2) yang terdiri atas guru dan tenaga administrasi di berbagai lembaga pemerintahan daerah. Honorer K-2 adalah mereka yang bekerja untuk negara sejak sebelum 2005 dan digaji bukan dari anggaran negara ataupun daerah--untuk guru, biasanya gaji mereka berasal dari bantuan operasional sekolah.
Baca: Disebut Menahan Gaji Pegawai Honorer, Ini Kata Sekretaris Menpora
Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Setiawan Wangsaatmadja, mengatakan DIM revisi beleid ASN belum disusun karena sejumlah kementerian dan lembaga masih berembuk. Revisi harus cermat agar perekrutan pegawai negeri tetap mengedepankan kualitas, kebutuhan, dan anggaran. “Kalaupun tujuannya hanya untuk mengakomodasi pegawai honorer, harus tetap mengikuti pola rekrutmen yang sudah bagus,” kata dia.
Kementerian PAN juga masih memverifikasi data pegawai honorer K-2 sebelum proses pengangkatan dilakukan. “Kami harus validasi data karena ada yang sudah meninggal, ada yang sudah pindah,” ujar Setiawan. “Jangan sampai pengangkatan dilakukan berdasarkan data yang salah.”
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan lembaganya mendukung pengangkatan tenaga honorer K-2 sebagai pegawai negeri. Syaratnya, ada dasar hukum yang jelas, data yang valid, serta tidak menjadi beban bagi keuangan daerah karena para honorer itu nantinya digaji oleh APBD.
Adapun Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Syarifuddin, mengatakan nantinya Rp 8,4 triliun anggaran daerah perlu dialokasikan setiap tahunnya untuk menggaji 438 ribu pegawai honorer K-2 sebagai pegawai negeri. “Sedangkan rata-rata 40 persen anggaran daerah sudah dialokasikan untuk belanja pegawai,” kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI