TEMPO.CO, Bandung - Kondisi Gunung Merapi kini berpotensi mengeluarkan magma dari perut bumi. Berdasarkan pemantauan kamera termal, ada peningkatan temperatur kawah pada pukul 20.24 ke 21.09, Jumat, 1 juni 2018. "Itu mengindikasikan material panas bergerak ke level yang lebih dangkal atau ke atas menuju kawah," kata pakar gunung api dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman.
Menurut Mirzam, peningkatan suhu di kawah Merapi mencapai 150 derajat Celcius dalam waktu 30 menit. Jika kondisi puncak Merapi stabil seperti itu, diperkirakan letusan magmatik bakal terjadi. "Secara teoritikal tidak lama lagi," kata peneliti di Kelompok Keahlian Petorologi, Vulkanologi, dan Geokimia ITB itu.
Karena tidak didahului oleh pembentukan sumbat lava, kata Mirzam, maka diperkirakan erupsi magmatik Merapi tidak akan se-eksplosif 2014 ataupun 2010. “Sebab tidak ada akumulasi energi yang signifikan,” katanya.
Adapun potensi awan panas atau wedhus gembel tetap harus diwaspadai karena tidak ada sumbat lavanya. Awan panas bisa juga muncul dari runtuhnya kolom erupsi akibat kehilangan tekanan ke atas. "Saat runtuh dan meluncur ke bawah, itulah awan panas terjadi," kata Mirzam.
Untuk waktu letusan, menurut Mirzam, bisa diestimasikan dari gradien antara jeda waktu erupsi dan peningkatan suhu. Ia menganalogikan kondisi Merapi saat ini seperti ibu hamil yang memasuki fase pembukaan. "Ada kemungkinan sudah pembukaan tapi tidak langsung keluar (melahirkan) alias tidak jadi meletus," katanya.
Beberapa faktor yang bisa menahan keluarnya magma atau erupsi magmatik Merapi itu adalah suplai magma yang tidak cukup banyak sehingga tidak bisa memaksa magma keluar kawah. Kondisi kedua yaitu kecepatan magma yang naik dari dapur magma ke permukaan. "Jika kecepatannya lebih lambat dari magma membeku maka akan berhenti."
Mirzam meminta masyarakat tetap tenang dan waspada terhadap perkembangan Gunung Merapi. Ia meminta semua mengikuti saran dan petunjuk dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi.