TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra mengusulkan adanya diklat kebangsaan bagi dosen perguruan tinggi serta guru-guru sekolah dan madrasah di Indonesia. Usulan itu diajukan untuk menangkal tersebarnya paham radikalisme melalui perguruan tinggi maupun sekolah di Indonesia.
Azyumardi mengatakan radikalisme masuk melalui infiltrasi-infiltrasi, salah satunya ke perguruan tinggi. "Kepala BIN bilang bahkan ada tiga perguruan tinggi tingkat nasional yang 39 persen mahasiswa bahkan dosennya sudah terpapar paham radikalisme," ujar dia di Hotel Cemara, Jakarta Pusat pada Jumat, 25 Mei 2018.
Salah satu indikasi masuknya paham radikal itu, kata Azra, terlihat pada saat peristiwa bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu lalu. Menurut dia, banyak pengajar-pengajar di perguruan tinggi yang menganggap teror tersebut adalah rekayasa dari pemerintah. "Paham itu lah yang mesti direspon dengan pendidikan kebangsaan. Diklat kebangsaan," ujarnya.
Baca: Yasonna Minta Implementasi UU Terorisme Tetap Menjunjung HAM
Alasan lain Azyumardi mendorong adanya diklat untuk pengajar adalah lantaran dia melihat para pengajar sejatinya tidak pernah lagi tersentuh pelatihan soal kebangsaan setelah resmi menjadi pengajar. Berbeda dengan pelajar maupun mahasiswa yang masih mendapatkan pendidikan kewarganegaraan.
Baca Juga:
"Paling tidak para pengajar menerima saat pendidikan prajabatan PNS. Setelah itu berpuluh tahun tidak lagi dapat materi soal Pancasila, bhineka tunggal ika, dan mengenai NKRI," kata Azyumardi. Sehingga, mereka acapkali terpapar praktik transnasional dengan paham radikal.
Karena itu, Azyumardi mendorong tiga kementerian, yaitu Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; dan Kementerian Agama untuk merealisasikan usulan tersebut. Adapun Kemenristekdikti bertanggungjawab untuk perguruan tinggi, Kemendikbud bertanggungjawab untuk sekolah-sekolah, dan Kemenag bertanggungjawab untuk madrasah.
Baca: Komentar Mengejutkan Aman Abdurrahman Soal Bom Surabaya
"Kalau madrasahnya ada di lingkungan pesantren itu tak jadi masalah. Tapi kalau berdiri sendiri, lalu ada yayasan atau didirikan ustad yang wahabi itu bahaya," kata Azyumardi.
Wacana itu pun, menurut dia, perlu dukungan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia untuk memasukkan langkah pencegahan penyebaran paham radikalisme di kalangan kampus. "BNPT punya peran lebih jelas, karena enggak mungkin densus yang lakukan itu," kata dia.
Azyumardi mengatakan metode yang bisa dilakukan terlebih dahulu antara lain melakukan training of trainers. Sehingga nantinya tersedia para pelatih diklat yang bisa disebar secara bertahap ke daerah kabupaten dan kota masing-masing.
Baca: TNI Ikut Tangani Terorisme Dinilai Tak Akan Buat Militer Represif