TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menuturkan koordinasi antara Komando Operasi Khusus Gabungan atau Koopssusgab TNI dan Kepolisian RI akan bergantung pada kebutuhan. "Tergantung apa yang dioperasikannya. Kalau operasi untuk keamanan negara, (ancaman) dari luar, ya, serahkan TNI. Tergantung masalahnya," katanya di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 22 Mei 2018.
JK mengatakan TNI dan Polri selalu membutuhkan koordinasi untuk menjaga keamanan. Tanpa koordinasi, kata JK, kekuatan pertahanan akan lemah. Apalagi, menurut dia, setiap institusi memiliki kelebihan dan tugas sesuai dengan undang-undang.
Baca: Moeldoko Sebut Koopssusgab TNI Telah Aktif Kembali
JK berkaca pada koordinasi TNI dan Polri dalam Operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah. Menurut JK, koordinasi TNI dan Polri sudah terbukti bagus dalam operasi tersebut. Apalagi, kata JK, TNI dan Polri pernah di bawah satu komando sebelum reformasi. "Pernah terjadi dan bukan baru. Kalau tidak ada koordinasi bisa menimbulkan friksi di lapangan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memberikan restu untuk mengaktifkan kembali Koopssusgab TNI dalam pemberantasan terorisme. Pengaktifan itu bukan tanpa syarat. Jokowi menyatakan satuan antiteror itu akan diterjunkan jika polisi sudah tidak sanggup menangani teroris.
Koopssusgab TNI dibentuk Moeldoko ketika menjabat Panglima TNI. Pasukan ini adalah gabungan dari tiga matra TNI, yaitu Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara milik TNI Angkatan Laut, dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI Angkatan Udara.
Baca: Komnas HAM: Koopssusgab Belum Diperlukan untuk Tangani Terorisme
Komando operasi khusus ini berisi pasukan yang bisa diturunkan secara cepat ketika terjadi situasi genting menyangkut terorisme. Tugas-tugas yang ditangani Koopssusgab pun bersifat extraordinary operation.
Wacana pengaktifan kembali Koopssusgab TNI memicu reaksi. Mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, menilai pengaktifan kembali Koopssusgab TNI dalam memburu jaringan teror sebagai kebijakan emosional. Sebab, pengaktifan ini beriringan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.