TEMPO.CO, Jakarta - Setya Novanto mengatakan ibadah puasanya lancar selama menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Mantan Ketua DPR itu menuturkan dirinya kerap membagi makanan dengan tahanan lain saat sahur dan berbuka puasa.
"Kami saling berbagi, untuk sahur pakai sayur lodeh dan bukanya pakai gorengan ala pesantren sana," kata Setya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin 21 Mei 2018.
Baca: Setya Novanto akan Bersaksi dalam Sidang Fredrich Yunadi
Setya adalah terpidana 15 tahun penjara atas perkara korupsi proyek e-KTP. Dia divonis bersalah karena telah memperkaya diri sendiri melalui proyek tersebut. Setya sudah menghuni di Lapas Sukamiskin sejak 4 Mei 2018. "InsyaAllah kami beradaptasi dengan teman-teman yang sama-sama susah," kata Setya.
Setya Novanto hari ini mendatangi Pengadilan Tipikor untuk bersaksi dalam sidang perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa eks bos PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo. Jaksa mendakwa Anang telah melakukan korupsi dengan memperkaya diri sendiri dan korporasinya senilai Rp 79 miliar dari proyek e-KTP.
Dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun itu, PT Quadra Solution yang dipimpin Anang merupakan salah satu anggota Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pemenang tender. Konsorsium beranggotakan Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI) sebagai ketua konsorsium, PT Sucofindo (Persero), PT Sandipala Arthaputra, PT LEN Industri, dan PT Quadra Solution.
Baca: LSI Denny JA: Kasus Setya Novanto Turunkan Dukungan buat Golkar
PT Quadra bersama PT LEN mendapat tanggung jawab melaksanakan pekerjaan pengadaan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), termasuk jaringan komunikasi dan data.
Jaksa menyatakan keuntungan Rp 79 miliar PT Quadra Solution bersumber dari pembayaran konsorsium yang seluruhnya berjumlah Rp 1,950 triliun. Sementara realisasi pekerjaan barang yang dilakukan perusahaan itu hanya Rp 1,871 triliun. Selain itu, Anang juga didakwa secara bersama-sama telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang telah merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun.