TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, beserta istri dan keponakannya sebagai tersangka penerima suap. Wakil Ketua KPK Basariah Pandjaitan menduga istri Dirwan, Hendrati dan keponakannya, Nursilawati berperan sebagai perantara dan penadah uang suap.
"Informasinya bupati itu meminta agar uangnya enggak diserahkan ke dia, tapi diserahkan ke HEN (Hendrati) atau melalui NUR (Nursilawati), itu peran aktifnya," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu, 16 Mei 2018.
Baca: Begini Kronologi OTT Bupati Bengkulu Selatan dan Istrinya
Adapun dalam perkara ini KPK menyangka Dirwan menerima uang sejumlah Rp 98 juta dari seorang kontraktor bernama Juhari. Uang tersebut diduga merupakan sebagian dari 15 persen komitmen fee yang disepakati sebagai jatah bupati atas pengerjaan lima proyek jembatan dan jalan dengan mekanisme penunjukan langsung. Total anggaran untuk lima proyek itu berjumlah Rp 750 juta.
KPK menyangka uang Rp 98 juta itu diserahkan kepada Dirwan dalam dua kesempatan berbeda. Pada 12 Mei 2018, Juhari diduga menyerahkan uang sebanyak Rp 23 juta kepada Hendrati melalui Nursilawati.
Sebanyak Rp 13 juta dari uang tersebut disimpan Hendrati ke rekeningnya, sementara Rp 10 juta disimpan Nursilawati. Lalu pada 15 Mei 2018, Juhari kembali memberikan uang Rp 75 juta kepada Nursilawati di rumah Hendrati. "Sebesar Rp 75 juta diserahkan JHR (Juhari) kepada HEN melalui NUR di rumah HEN," kata Basaria.
Baca: KPK Tetapkan Bupati Bengkulu Selatan dan Istri sebagai Tersangka
Pada hari yang sama setelah transaksi kedua itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap keempat orang tersebut. Dirwan dan istrinya ditangkap di kediamannya di Kecamatan Manna, Bengkulu Selatan. Sedangkan, Juhari ditangkap di rumah makan dan Nursilawati ditangkap di kediaman kerabatnya.
KPK menyangka Bupati Bengkulu Selatan Dirwan, Hendrati dan Nursilawati telah melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sementara Juhari disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1), huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.