TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Tim Ahli Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau RUU Antiterorisme, Poltak Partogi Nainggolan, mengungkapkan salah satu alasan lambatnya pembahasan di tingkat panitia khusus. Kehadiran anggota dewan yang kerap tak memenuhi kuorum menghambat pembahasan RUU Antiterorisme.
Menurut Partogi, selama ini pansus tidak serius. "Anggota saja susah dikumpulkan," ucap dia dalam diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 15 Mei 2018.
Baca: Jokowi Akan Keluarkan Perpu jika RUU Terorisme Tak juga Disahkan
Pansus RUU Antitetorisme dibentuk sejak 2016 yang terdiri dari 10 fraksi di DPR. Namun, menurut Partogi, biasanya hanya 3-4 fraksi yang terkumpul dalam satu kali pembahasan. RUU yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, ini mulai dibahas kembali bersama DPR pada 18 Januari 2018.
Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menyatakan pembahasan RUU Antitetorisme di semua negara memakan waktu lama. Ia berdalih banyaknya aspirasi masyarakat membuat pansus berhati-hati dalam pembahasan. "Padahal RUU ini tidak lebih dari 20 pasal," ujarnya.
Baca: Fadli Zon Sebut Beberapa Poin di RUU Terorisme yang Diperdebatkan
Arsul menjelaskan terdapat dua komisi DPR yang terlibat langsung dalam pembahasan. Komisi I yang menangani bidang pertahanan dan bermitra dengan TNI cenderung lebih terbuka dengan keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme. Sementara itu, Komisi III ingin tetap undang-undang lebih mengedepankan penegakan hukum.
Perdebatan ini memakan waktu sehingga pembahasan RUU Antiterorisme molor. TNI, Arsul berpendapat, diharapkan masuk dalam ranah yang berbasis skala ancaman terhadap negara, bukan penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. "Kalau negara lain menutup pintu TNI masuk dalam penanganan terorisme," katanya.