TEMPO.CO, Denpasar - Puluhan orang dari kalangan seniman dan mahasiswa berunjuk rasa merespons peristiwa bom di Surabaya dan Sidoarjo. Mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Terorisme.
"Kami menyuarakan aspirasi untuk segera mengesahkan Undang-Undang Antiterorisme," kata koordinator aksi dari Pemuda Katolik, Eduardo Edwin Ramda, saat berorasi di Patung Catur Muka, Lapangan Puputan Badung I Gusti Ngurah Made Agung, Denpasar, Bali, Selasa, 15 Mei 2018.
Baca: Wiranto: RUU Terorisme Tidak untuk Kepentingan Politik
Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dianggap lambat. Wacana pembahasan revisi undang-undang tersebut sudah sejak 2016. "Ini DPR yang tahu kenapa tersendat-sendat. Keresahan kami sebenarnya akar terorisme ini bisa diberantas dari mana," ujar Eduardo.
Ia mengimbau masyarakat saling menjaga perdamaian. "Mari bersama menjaga lingkungan kita dari paham terorisme yang berkembang," ucapnya.
Puluhan massa aksi berasal dari Gerakan Pemuda Ansor, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Bali, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Universitas Udayana, BEM Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Denpasar, Himpunan Advokat Muda Indonesia Bersatu (HAMI) Bali, Pemuda Katolik, Yayasan Manikaya Kauci, dan Komisariat Pertanian Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Denpasar.
Simak: Mantan Kepala BNPT: Ada Anggota Pansus Tak Paham UU Terorisme
Ada juga dari kalangan sastrawan di Bali, di antaranya Wayan Jengki Sunarta dan Muda Wijaya. Mereka membacakan puisi dalam aksi unjuk rasa tersebut. Perwakilan KMHDI Bali, I Gusti Putu Kirana Dana, menegaskan tuntutan yang sama saat orasi.
Ia menilai Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sangat lambat. "Rakyat perlu perlindungan, sedangkan dua tahun undang-undang itu tidak selesai," tuturnya.
BRAM SETIAWAN