TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Mahyudin menilai program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah masih kurang optimal. Pernyataan ini diungkapkan terkait dengan beberapa kasus aksi terorisme yang terjadi beberapa hari belakangan.
"Masih kurang optimal, bisa dilihat dari banyaknya residivis terorisme yang setelah keluar kembali menjadi teroris," kata politikus Golkar itu di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Timur, Senin, 14 Mei 2018. Ia menilai program itu perlu diselesaikan dan dievaluasi.
Baca: PDIP: Penanganan Terorisme Tak Cukup Melalui Deradikalisasi
Selain itu, menurut Mahyudin, program itu juga mesti ditunjang dengan fasilitas yang baik. "Jadi harus juga diberi porsi anggaran yang lebih baik," kata dia.
Ia menyoroti Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) yang sebelumnya digunakan untuk menahan narapidana dan tahanan kasus terorisme. Di sana, para pelaku teror itu digabung dengan tahanan lainnya. "Padahal terorisme itu kan seperti penyakit jiwa, yang harus disembuhkan lewat deradikalisasi itu," ujarnya. "Harusnya ada fasilitas sendiri."
Para pelaku teror, kata Mahyudin, semestinya ditahan dalam tahanan tersendiri yang tidak tercampur dengan tahanan umum, contohnya adalah di Nusakambangan. Dia khawatir apabila tak ditangani serius, pelaku terorisme bukannya menjadi sembuh, malah berpotensi semakin menjadi.
Baca: 500 Penyuluh Agama di Jawa Timur Dikerahkan Tangkal Radikalisme
Sementara itu, Mahyudin mengatakan kewenangan lembaganya lebih terbatas. Selama ini, MPR telah berupaya mensosialisasikan antiradikalisme lewat empat pilar kebangsaan.
Namun, lantaran para pelaku teror kebanyakan telah terpapar program radikalisme dan terkena cuci otak, penanganannya pun mesti lebih serius. "Kita itu jangan ribut dan panik begitu ada bom, mengutuk ini dan itu, tapi tidak melakukan antisipasi dengan baik," ujar dia.