TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memerintahkan kepolisian dan TNI melakukan kolaborasi dalam upaya mengatasi tindakan terorisme menyusul rangkaian teror bom di Surabaya, Jawa Timur.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan satuan TNI yang akan berkolaborasi dengan kepolisian untuk menanggulangi terorisme bergantung pada kebutuhan Polri. "Bisa nanti pengerahan Badan Intelijen Strategis (Bais TNI) untuk membantu intelijen kepolisian. Bahkan, secara represif, bisa menggunakan satuan gultor (penanggulangan teror atau Sat-81 Kopassus) yang telah disiapkan," kata Moeldoko saat ditemui di Menara 165, Jakarta Selatan, Senin, 14 Mei 2018.
Baca juga: Penggerebekan Terduga Teroris di Sidoarjo Diwarnai Suara Tembakan
Menurut Moeldoko, kolaborasi tersebut bertujuan menambah kekuatan Polri dalam langkah-langkah represif untuk membasmi terorisme, khususnya sel teroris yang tidur dan mulai bangkit. "Dalam konteks ini, ada sebuah pertimbangan yang akan dipikirkan kepolisian bersama-sama dengan TNI, bagaimana menyelesaikan sel-sel itu, agar jangan sampai terjadi (aksi teror) baru kita (aparat) bertindak," tuturnya.
Moeldoko juga memastikan tidak akan terjadi tumpang-tindih kewenangan dalam menangani masalah terorisme. Sebab, kata dia, polisi tetap berada di garda terdepan, tapi kekuatannya bertambah dengan hadirnya TNI untuk menyelesaikan persoalan yang sama.
Baca juga: Buntut Bom Surabaya, Kapolri Minta DPR Sahkan RUU Terorisme
Rentetan serangan teror di Surabaya terjadi sejak Minggu kemarin. Pada Minggu pagi, terjadi serangan bom bunuh diri di tiga gereja. Peristiwa ini mengakibatkan 13 tewas, enam di antaranya pelaku yang merupakan satu keluarga. Pada malam harinya, bom bunuh diri terjadi di Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo.
Yang terbaru, serangan bom di Mapolrestabes Surabaya yang terjadi pukul 08.50 WIB. Dari rekaman CCTV, sebelum terjadi ledakan bom, tampak seorang laki-laki mengendarai sepeda motor memboncengkan seorang perempuan dan anak kecil.