TEMPO.CO, Surabaya - Tiga ledakan bom Surabaya diketahui dilakukan satu keluarga yang diduga merupakan jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Mereka diketahui menggunakan jenis bom yang berbeda dalam aksinya.
"Semua adalah serangan bom bunuh diri. Cuma jenis bomnya berbeda," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian di Surabaya pada Ahad, 13 Mei 2018.
Pada Ahad pagi ini, secara susul-menyusul terjadi ledakan bom di tiga gereja, yaitu GKI Diponegoro, Gereja Santa Maria Tak Bercela, dan Gereja Pantekosta. Akibat tiga ledakan ini, 13 orang meninggal, termasuk pelaku dan jemaah gereja, serta puluhan orang lain terluka.
Baca: Bom Surabaya, Cerita Warga Saat Ledakan di Gereja Santa Maria
Tito menjelaskan, serangan bom di Gereja Pantekosta dilakukan seorang pria yang bernama Dita Upriyanto. Ia menggunakan bom mobil. "Itu menggunakan bom diletakkan dalam kendaraan setelah itu ditabrak. Ini ledakan yang terbesar dari ketiga ledakan itu," ujarnya.
Adapun di GKI Diponegoro, Tito mengatakan bom yang digunakan adalah bom yang diletakkan di pinggang. "Namanya bom pinggang. Ciri-ciri sangat khas, yang rusak bagian perutnya saja," ucapnya. Serangan bom di GKI Diponegoro diduga dilakukan istri dan dua anak perempuan Dita, yaitu Puji Kuswati serta FS, 12 tahun, dan VR, 9 tahun.
Baca: Pelaku Bom di Surabaya Satu Keluarga, Begini Pembagian Tugasnya
Sedangkan di Gereja Santa Maria Tak Bercela, pengeboman dilakukan dua anak laki-laki Dita, yaitu Yusuf Fadil, 18 tahun, dan FH, 16 tahun. Tito mengatakan polisi belum mengetahui jenis bom yang digunakan. "Itu menggunakan bom yang dipangku. Kami belum paham jenis bom jelasnya," tuturnya. Namun dua pelaku ini menggunakan sepeda motor.
Untuk memastikannya, pihak Laboratorium Forensik Polri sedang melakukan pengecekan. Tito mengatakan hal ini juga dilakukan untuk mengetahui bahan peledak yang digunakan para pelaku.
NUR HADI
Baca: Bom Surabaya, Menteri Agama: Pelaku Tidak Pegang Nilai Agama