TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengutuk dan mengecam aksi bom di gereja Surabaya. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyesalkan atas terjadinya aksi bom bunuh diri tersebut.
"Tindakan seperti ini atas nama apapun, ditujukan siapapun tak dibenarkan. Baik oleh hukum, moral bangsa dan agama ," kata Haedar usai tabligh akbar di Masjid Ahmad Yani, Malang, Jawa Timur pada Ahad 13 Mei 2018.
Pada Ahad pagi ini sekitar pukul 07.30 WIB, terjadi ledakan bom di Surabaya, yaitu Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel, GKI di Jalan Diponegoro, dan Pantekosta di Jalan Arjuno. Tiga kejadian itu terjadi hampir bersamaan. Hingga siang ini, tercatat 10 korban meninggal dunia dan 41 lainnya luka-luka.
Baca: Bom di Surabaya: Satpam Larang Perempuan Itu Masuk, lalu...
Muhammadiyah pun menuntut polisi bekerja profesional dan objektif untuk mengusut tuntas kasus bom tersebut. Termasuk, kata Haedar, mengungkap siapa pelaku dan motifnya secara transparan.
Menurut dia, dalam kasus seperti ini, pelaku tak tunggal dan selalu ada trigger atau pemicu, pelaku semu dan dalang. Haedar menuntut polisi mengungkap aktor intelektual dan provokator.
Selain itu, Haedar menyampaikan agar kejadian bom gereja tak menimbulkan kesan teror akibat sentimen agama. Menurut dia, faktor penyebab terorisme dan anarkisme itu tak tunggal.
Baca: Bom Bunuh Diri di Surabaya, Kapolda Tetapkan Jakarta Siaga Satu
Ia berharap masyarakat tak terpancing dan berkepala dingin sehingga tak berkembang asumsi yang justru menimbulkan saling curiga antar anak bangsa. "Peristiwa ini harus dicegah dan dituntaskan," kata Haedar.
Muhammadiyah mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga Indonesia agar tetap damai dan bebas dari tindakan terorisme dan anarkisme. Muhammadiyah mengapresiasi Indonesia yang selama ini telah hidup damai dan moderat.
Untuk menangkal radikalisme dan terorisme, kata Haedar, Muhammadiyah mengedepankan konsep moderasi dan melawan ekstrimisme tidak dengan ekstrimisme. "Jika ada radikalisme atas nama agama, Muhammadiyah mengedepankan paham wasati'ah, yang tengah," ujarnya.
Media sosial yang luar biasa bebas, menurut Haedar, kadang menyebabkan pengguna media sosial tak kritis sehingga harus ada literasi media sosial agar tak terbawa arus dan terpancing isu. "Semua komponen bangsa harus jaga kondisi bangsa ini. Konflik bisa diselesaikan secara proporsional," kata dia.
Baca: Bom di Gereja Surabaya, KPI Ingatkan TV Tak Ekspos Gambar Korban