TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan pihak-pihak yang berupaya melemahkan KPK berarti pengkhianat reformasi. Sebab, KPK lahir sebagai salah satu kerja lanjutan dari reformasi itu sendiri.
"Sehingga upaya-upaya (pelemahan) itu harus diingat sebagai pengkhiantan reformasi," kata Febri dalam diskusi 20 Tahun Reformasi Lanjut Terus Berantas Korupsi di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.
Baca: Tempo dan DPR Peringati 20 Tahun Reformasi
Febri menuturkan ada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yang muncul terkait semangat pemberantasan korupsi, yaitu Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Ketetapan No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Menurut Febri, dua Tap MPR itu menegaskan semangat pemberantasan korupsi dan sudah diturunkan ke dalam berbagai undang-undang. Selain itu, lewat Tap MPR tersebut lahir pula KPK. Namun, kata Febri, salah satu poin perjuangan reformasi itu selalu dicoba untuk dihancurkan. Berbagai cara baik legal maupun ilegal dilakukan untuk melemahkan KPK.
Simak: Bambang Soesatyo: Gedung DPR Saksi Sejarah 20 Tahun Reformasi
"Serangan terhadap penyidik, upaya merevisi Undang-Undang KPK, termasuk revisi beberapa aturan yang seolah menyangkut prosedur tapi memiliki risiko besar, yaitu pelemahan kerja KPK," ucapnya.
Aktivis Gusdurian Savic Ali mengatakan untuk memperkuat semangat antikorupsi perlu membangun budaya bahwa korupsi adalah kejahatan besar yang berdampak langsung pada masyarakat. Menurut dia, sekarang banyak orang yang biasa saja melihat korupsi lantaran merasa tidak dirugikan secara langsung.
Savic mencontohkan saat awal-awal gerakan reformasi 1998 banyak masyarakat yang setuju. Belakangan mereka bergabung karena kondisi saat itu memaksanya.