TEMPO.CO, Malang - Para pelaku terorisme di Indonesia masih menyasar lembaga negara. Sasaran tersebut termasuk pos polisi dan lembaga lain yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
"Polisi, tentara seperti saya, juga bisa jadi sasaran. Mereka menganggap pemerintah thaghut yang harus dimusuhi," kata kepala seksi partisipasi masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Setyo Pranowo, di Malang, Rabu, 9 Mei 2018.
Baca Juga:
Baca: Asian Games 2018, Kapolri: Polisi Siap Atasi Copet Sampai Teroris
Dia mengatakan BNPT kini melibatkan 19 orang bekas napi terorisme untuk membangun kontra-narasi. Mereka dilatih public speaking. Tujuannya berkampanye mencegah radikalisme dan terorisme.
Mereka, kata Setyo, bagian dari upaya deradikalisasi. Bekas narapidana terorisme akan memberikan testimoni di sejumlah daerah. Testimoni penting dilakukan untuk menangkal radikalisme dan terorisme.
"Sedangkan bagi masyarakat yang belum terpapar juga perlu dilindungi dari paham radikalisme dan terorisme," katanya. Apalagi paham radikalisme juga tersebar di media sosial. "Ada anak usia 14 tahun terpapar paham radikalisme, dia pergi ke Suriah," katanya.
Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dengan semua pihak untuk menangkalnya. Termasuk melibatkan para penyuluh agama di daerah. Mereka bisa memberikan pemahaman agama yang damai.
Baca: Komnas HAM Minta Mekanisme Penahanan Masuk dalam RUU Terorisme
Ketua Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Jawa Timur Soubar Isman menjelaskan, Jawa Timur menjadi daerah yang banyak terjadi kasus dan pelaku. BNPT telah melakukan antisipasi menangkal terorisme, mengingat terorisme berpotensi terjadi di Jawa Timur.
"Jatim dalam kategori waspada. Harus diantisipasi," katanya. Eskalasi ancaman, menurut Soubar, mulai bergeser menggunakan media sosial.