TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Yusril Ihza Mahendra, mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan banding terhadap putusan Pengadiilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengajuan memori banding dilakukan sebelum waktu berakhir pengajuan banding 20 hari setelah putusan PTUN dikeluarkan. "Dalam dua pekan ini kita akan ajukan banding," kata Yusril di Kantor HTI, Jakarta, Selasa, 8 Mei 2018.
Ia meminta pemerintah tidak bergembira terlebih dahulu atas putusan PTUN DKI Jakarta. Sebab, kata Yusril, HTI masih akan melakukan upaya hukum terkait putusan itu. "Kami bisa melakukan upaya hukum lain atas putusan terkait HTI, baik pengajuan banding, kasasi ke Mahkamah Agung (MA) maupun peninjauan kembali ke (MA) bila HTI kalah dalam persidangan," ujarnya.
Simak: Wiranto Minta Putusan PTUN Soal HTI Tak Dimainkan untuk Politik
Yusril menyatakan tidak sependapat dengan putusan pengadilan. Pertama, kata dia, pertimbangan majelis yang menyatakan tergugat tidak memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan secara surut. Padahal, Menteri Hukum dan HAM yang baru mendapatkan kewenangan menjatuhkan pencabutan status badan hukum pada10 Juli 2017 sejak perpu diterbitkan.
"Sebelum itu, Menteri tidak berwenang sebab kewenangan pencabutan status badan hukum masih milik Pengadilan (sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013)," kata Yusril.
Kedua, Yusril mempersoalkan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bukti berupa buku dan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Menurut dia, majelis hakim keliru karena buku tersebut bukanlah peristiwa hukum atau fakta, melainkan referensi ilmiah. "Referensi ilmiah itu tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan objektif," ujarnya.
Simak: Pertimbangan Majelis Hakim Tolak Gugatan HTI
Yusril juga mempermasalahkan bukti video yang dijadikan dasar pencabutan badan hukum HTI. Video itu, kata dia, ternyata baru diverifikasi pada 19 Desember 2017, tepat lima bulan setelah Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30A.H.01.08 Tahun 2017 diterbitkan. "Hal ini membuktikan bahwa bukti baru dicek orisinalitasnya setelah hukuman dijatuhkan," kata dia.
Yusril pun mempertanyakan pertimbangan hakim yang menyatakan penerbitan Surat Keputusan Menteri tersebut telah sesuai prosedur. Sebab, kata dia, tidak pernah ada pemeriksaan secara langsung kepada penggugat (HTI). "Tidak pernah ada konfrontir atas keterangan dan bukti sehingga ketiadaan pemeriksaan yang fair dan objektif (due process of law) itu jelas menunjukkan penghukuman dilakukan tanpa prosedur yang cukup," ucapnya.
Simak: Banding HTI, Yusril Ihza: Pemerintah Bisa Kalah di Mahkamah Agung
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta menolak seluruh gugatan HTI pada Senin, 7 Mei 2018. "Dalam eksepsi permohonan yang diajukan penggugat tidak diterima seluruhnya, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dan membebankan biaya perkara sebesar Rp 445.000," ujar Ketua Majelis Hakim, Tri Cahya Indra Permana.
Hakim menilai HTI terbukti menyebarkan dan memperjuangkan paham khilafah, sesuai dalam video Muktamar HTI pada 2013. Majelis tak mempermasalahkan pemikiran khilafah sepanjang masih sebatas konsep. Namun, jika sudah diterapkan dalam aksi untuk mengganti Pancasila, hakim menilai dapat berpotensi perpecahan.
Anggota majelis hakim, Roni Erry, menilai bukti video Muktamar HTI 2013, menunjukkan HTI sudah melaksanakan muktamar dengan mengajak peserta menegakkan khilafah. "Fakta hukumnya dalam muktamar itu Ketua Umum HTI mengajak mengubah prinsip kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan di tangan Allah. Cukup bagi hakim menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti berusaha mewujudkan khilafah," ujarnya.