TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman RI melihat ada potensi keberatan dari pendaftar calon legislator atau caleg apabila rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan legislator tidak segera diharmonisasikan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Sebab, ini ada perbedaan yang tajam antara undang-undang dan PKPU," kata anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, di gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Sabtu, 5 Mei 2018.
Keberatan itu, menurut Ninik, bisa muncul manakala para calon yang mau mendaftar menjadi legislator bisa dianggap tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam PKPU, padahal mereka memenuhi syarat dalam undang-undang.
Baca: Alasan KPU Hanya Jadikan LHKPN Syarat Pelantikan Caleg
Beberapa syarat yang muncul dalam rancangan PKPU tapi tak ada dalam Undang-Undang Pemilu antara lain syarat caleg melampirkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) dan syarat bahwa pendaftar tidak boleh mantan narapidana kasus korupsi. "Jadi ada yang tidak kondusif ketika yang mendaftar gugur menurut KPU, padahal menurut undang-undang boleh," ujar Ninik.
Saat keberatan itu muncul, kata Ninik, masyarakat akan mulai banyak melapor kepada KPU. Apabila KPU tak menggubris gugatan itu, bukan tak mungkin masyarakat mengadu ke Ombudsman sebagai langkah terakhir.
Kalau laporan itu masuk ke Ombudsman, Ninik mengatakan lembaganya akan meninjau persoalan yang membuat KPU tak meloloskan sang pendaftar. Ombudsman pun, kata dia, bisa melakukan klarifikasi, investigasi, mediasi, hingga menghadirkan ahli yang berujung pada pemberian saran kepada KPU tentang laporan akhir pemeriksaan. "Kalau tidak ditindaklanjuti dalam 30 hari akan berakibat pada rekomendasi," ucapnya.
Baca: DPR Persilakan KPU Buat Larangan Eks Napi Korupsi Jadi Caleg
Ninik mengatakan lembaganya bukan membicarakan boleh atau tidaknya KPU memasukkan larangan eks napi korupsi menjadi caleg atau aturan lain dalam beleid yang dibuat. Namun, ia melanjutkan, Ombudsman akan melihat apakah dalam proses pendaftaran caleg nanti persyaratan sang pendaftar terpenuhi atau tidak. "Kalau sudah memenuhi lalu tidak diloloskan, itu institusi KPU bisa diduga melakukan maladministrasi," tuturnya.
Adapun hal yang masuk ke dalam kategori maladministrasi, kata Ninik, antara lain penyalahgunaan wewenang, melampaui wewenang, melawan hukum, lalu mempersulit prosedur yang mestinya mudah. Karena itu, Ninik berharap KPU bisa segera melakukan harmonisasi kebijakan dan melakukan perubahan rancangan PKPU sesuai dengan undang-undang.
"Bicara undang-undang, KPU tak bisa sendiri, melainkan ada DPR, pemerintah, juga siapa lembaga yang berwenang," katanya. "Maka duduk bareng DPR, pemerintah, dan KPU menjadi penting."
Baca: Dahnil: Larangan Mantan Koruptor Jadi Caleg Melindungi Rakyat