TEMPO.CO, Yogyakarta - Demo rusuh mahasiswa Yogyakarta pada Hari Buruh Internasional pada Selasa 1 Mei 2018 lalu merembet ke masalah suksesi Keraton Yogyakarta. Sekelompok orang yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Anti Anarkisme atau Aman Yogyakarta mendatangi Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menanyakan tulisan Bunuh Sultan yang muncul dalam unjuk rasa tersebut.
“Kami ingin tahu, dari 12 tersangka yang ditetapkan, bisa diungkap siapa saja yang menulis Bunuh Sultan, agar bisa diketahui dan ditelusuri siapa otak dibalik pelaku,” ujar Koordinator Aliansi Masyarakat Anti Anarkisme, Agung Budyawan di Polda DIY, Jumat 4 Mei 2018.
Baca juga: Enggan Ikut Prosesi Bersama, Adik Sultan HB X: Kami Masih Menjauh
Agung menuturkan, ancaman Bunuh Sultan dalam aksi demo itu bukan sekedar melukai perasaan warga yang sampai saat ini masih menaruh hormat besar pada Raja Keraton sekaligus gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X atau HB X.
Menurut Agung, jika tak diungkap tulisan bernada ancaman membunuh Sultan HB X itu akan menimbulkan spekulasi terkait susksesi di tubuh Keraton Yogya.
“Secara etis ancaman Bunuh Sultan itu di luar adab dan nalar, kalau sudah dibunuh terus mau diganti siapa di belakangnya ? itu tetap tak bisa dibenarkan,” ujar Agung.
Masalah suksesi Keraton Yogyakarta beberapa waktu terakhir menimbulkan polemik. Pada 31 Agustus 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Dalam undang-undang yang baru disebutkan baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi Gubernur DIY dengan tahta Sultan Hamengku Buwono.
Dengan begitu, Sultan HB X yang tak memiliki anak laki-laki bisa meneruskan jabatannya pada putri sulungnya GKR Pembayun. Namun ini menjadi polemik karena berdasar tata adat atau paugeran Keraton Yogya, seharusnya yang menjadi Sultan sekaligus gubernur berikutnya adalah putra tertua keturunan Sultan HB X dari istrinya yang lain.
Baca juga: GKR Hemas Bicara Soal Raja Perempuan di Keraton Yogyakarta
Agung menuturkan baru kali ini di Yogya ada demo mahasiswa yang memasukkan materi ancaman pembunuhan pada raja keraton Yogyakarta. Ini memicu kecurigaan lebih kuat jika demo itu hanya menjadikan aksi May Day sebagai kedok belaka.
“May Day hanya isu pengalih, karena yang muncul dalam spanduk dan poster yang sempat kami copot saat demo bukan bicara soal buruh,” ujarnya.
Aliansi sempat mencopoti tulisan spanduk selain Bunuh Sultan juga penolakan pembangunan bandara baru Kulon Progo, hapuskan Sultan Ground dan Pakualaman Ground, serta hapuskan feodalisme Yogya.
Namun dari pertemuan dengan pihak kepolisian itu, aliansi itu belum mendapatkan nama siapa dari para tersangka yang menghasut ancaman pembunuhan.
“Polisi masih melanjutkan penyidikan soal (siapa pengancam pembunuhan) itu, kami belum diberitahu karena masuk materi pemeriksaan,” ujarnya.
Sebelumnya Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII Yogyakarta mengatakan aksi mahasiswa yang berujung rusuh di depan kampus UIN itu disusupi orang-orang tak dikenal. Merekalah yang menurut PMII melakukan tindakan anarkistis.