TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) soal larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif. Pengajuan ini dilakukan jika rencana larangan itu dianggap mendesak.
"Saya sarankan minta ke presiden kalau mendesak, ya supaya dibuatkan perppu. Kalau sesuatu yang reguler, ya dimasukkan ke prolegnas (program legislasi nasional) saja," kata Mahfud di Jakarta, Kamis, 19 April 2018.
Baca: KPU Menggodok Mekanisme Cuti untuk Inkumben di Pilpres 2019
Saat ini, KPU telah menyiapkan dua alternatif untuk menuangkan aturan larangan mantan narapidana menjadi caleg pada pemilu 2019. Opsi pertama adalah larangan langsung tertuang dalam rancangan Peraturan KPU kepada mantan narapidana menjadi caleg. Sedangkan opsi kedua, larangan mantan narapidana diberikan kepada partai politik peserta pemilu.
Mahfud melihat dua hal terkait rencana KPU tersebut. Pertama, dari sudut substansi rencana tersebut dianggap cukup baik. Bahkan, di negara lain juga ada aturan larangan narapidana koruptor yang tidak boleh maju untuk menduduki jabatan publik. "Masa mantan koruptor nyaleg," ujarnya.
Kedua, kata Mahfud, jika dilihat secara prosedur formal, KPU tidak bisa melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Sebab, pada pasal 28 huruf D Undang-undang 1945, diatur terkait hak asasi manusia atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Baca: KPU: Undang-undang Membuka Ruang Pilpres dengan Calon Tunggal
Menurut Mahfud, pembatasan hak asasi atau pengistimewaan hal tersebut hanya bisa diatur dalam UU. Karena itu, Mahfud menyarankan KPU mengusulkan aturan ini pada prolegnas tahun berikutnya bila tidak mendesak untuk segera direalisasikan.
Namun, jika mendesak, KPU bisa mengusulkan ke presiden untuk membuat perppu aturan ini. "Nanti tergantung deal-nya presiden dan DPR. Kan tidak ada perppu selama ini yang tidak memenuhi syarat. Karena itu hak subjektif presiden," ujarnya.
Menurut Mahfud, jika KPU memaksakan memasukan larangan tersebut di Peraturan KPU, pasti akan ada gugatan. "Catatan menurut saya tidak lama setelah itu (PKPU jadi), pasti ada yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung."